Jumat 29 Dec 2017 04:07 WIB
Syekh Abdus Shamad al-Palimbani

Sufi Ini Aktif Perjuangkan Kehormatan Umat Islam

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Agus Yulianto
Azyumardi Azra
Foto: dok Republika
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Azyumardi Azra dalam bukunya, 'The Origin of Islamic Reformism in Southeast Asia', menjelaskan, para ulama di Sumatera Selatan periode abad ke-18 hingga ke-19, memiliki peran penting dalam transisi keilmuan Islam bukan hanya di Nusantara, melainkan juga Timur Tengah. Jaringan ulama antarkawasan itu memang sudah terjalin erat setidaknya sejak abad ke-17, ketika orang-orang Hadramaut mulai datang dalam jumlah yang signifikan ke pesisir Sumatera. Mereka mendapatkan posisi yang cukup disegani baik di tengah masyarakat tempatan maupun lingkungan istana.

Dalam periode tersebut, salah satu ulama yang paling masyhur adalah Syekh Abdus Shamad al-Palimbani. Berdasarkan sumber-sumber berbahasa Melayu, Azra memaparkan, nama lengkap sosok ini adalah Abdus Shamad bin Abdullah al-Jawi al-Palimbani. Sementara itu, sumber lainnya yang berbahasa Arab menyebut ulama yang sama dengan nama Sayyid Abdus Shamad bin Abd ar-Rahman al-Jawi.

Teks Tarikh Salasilah Negeri Kedah, menurut Azra, memaparkan dengan cukup rinci biodata ulama besar ini. Abdus Shamad al-Palimbani diketahui lahir sekitar tahun 1116 Hijriah atau 1704 Masehi di Palembang, Sumatera Selatan. Ayahnya, Syekh Abdul Jalil bin Syekh Abdul Wahhab, termasuk kalangan sayyid yang datang dari Sanaa, Yaman. Sebelum bermukim di Sumatera Selatan, Syekh Abdul Jalil diketahui telah berkelana ke India dan kemudian Jawa.

Ketika sampai di Kedah, penguasa setempat mendaulatnya sebagai qadi kesultanan. Sekitar tahun 1700, Syekh Abdul Jalil singgah di Palembang. Dalam masa itu, dia kemudian menikah dengan seorang perempuan setempat bernama Radin Ranti. Dari pernikahan inilah lahir putra bernama Abdus Shamad al-Palimbani.

Masa kanak-kanak Abdus Shamad banyak dihabiskan dengan belajar membaca Alquran dan ilmu-ilmu agama Islam. Di Kedah dan kemudian Pattani (Thailand selatan), dia mendapatkan pendidikan dasar dengan sistem pondok pesantren. Setelah itu, lanjut Azra, Abdus Shamad dikirim oleh ayahnya untuk mendalami ilmu di Jazirah Arab.

Azra mengungkapkan, Abdus Shamad al-Palimbani aktif di Tanah Suci sampai wafatnya. Dengan demikian, dia tidak pernah kembali lagi ke Nusantara. Diduga kuat, ulama besar ini meninggal dunia pada 1789 atau selang beberapa waktu setelah penerbitan karya pentingnya, Sayr al-Salikin.

Meskipun tidak berkesempatan pulang ke tanah kelahirannya, Syekh Abdus Shamad al-Palimbani menaruh perhatian yang besar pada perkembangan Islam di Nusantara. Selama di Makkah, dia akrab dengan komunitas Jawi. Beberapa gurunya di Haramain berasal dari Nusantara. Sebut saja Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Syekh Abdul Wahhab Bugis, Syekh Abdul Rahman al-Batawi, dan Syekh Dawud al-Fathoni.

Di luar itu, Abdus Shamad diketahui juga berguru kepada sejumlah alim ulama termasyhur di Tanah Suci, yakni Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Sammani, Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, Syekh Abdul Munim al-Damanhuri. Kemudian, ada pula Syekh Ibrahim al-Rais (pakar ilmu falak), Syekh Muhammad Murad (sejarawan, pakar hadits, mufti mazhab Hanafi, berjulukan Istananya Ilmu Pengetahuan), Syekh Muhammad al-Jauhari (pakar ilmu hadits), dan Syekh Athallah al-Masri (pakar ilmu hadits).

Azra menyimpulkan, perjalanan intelektual Syekh Abdus Shamad al-Palimbani begitu diuntungkan dengan konteks zaman Haramain pada masa itu. Sebab, daerah tersebut menjadi titik pertemuan para cendekiawan unggul dari penjuru Dunia Islam. Di sinilah mereka dengan giat menyebarkan ilmu dan berdiskusi. Sebagai contoh, Abdus Shamad dapat menulis salah satu karya terawalnya, Zuhrat al-Murid fi Bayan Kalimat al-Tauhid, dengan sedemikian komprehensif. Zuhrat al-Murid tidak lain adalah catatan penulisnya sendiri dari kajian-kajian yang dihadirinya. Kajian ini diadakan ulama besar asal Kairo, Ahmad al-Damanhuri, yang dalam periode tertentu berkunjung ke Makkah. Zuhrat al-Murid disusun dengan bahasa Melayu dan membahas seputar ilmu logika (mantiq) dan teologi (ushuluddin).

Azra menjelaskan, Syekh Abdus Shamad al-Palimbani banyak menghabiskan waktu di Tanah Suci dengan mengajar dan menulis karya. Sepanjang kariernya, dia menekuni antara lain ilmu hadits, fikih, syariah, tafsir, kalam, dan tasawuf. Dalam bidang studi yang tersebut terakhir itu, menurut Azra, ulama masyhur ini lebih memberikan fokus.

Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Sammani merupakan guru utamanya untuk mendalami tasawuf. Karena pengaruh dari gurunya tersebut, dia akhirnya memilih tarekat Khalwatiyyah dan Sammaniyyah. Lima tahun lamanya al-Sammani memberikan pengajaran di Madinah. Tidak jarang Syekh Abdus Shamad diminta untuk mengajar beberapa murid gurunya itu yang datang ke Madinah. Menurut Azra, perkembangan tarekat Sammaniyyah di Sumatra Selatan dan Nusantara pada umumnya tidak lepas dari peran besar Syekh Abdus Shamad al-Palimbani dalam masa ini.

Azra menyimpulkan, Syekh Abdus Shamad al-Palimbani merupakan ulama yang paling penting sepanjang abad ke-18 di Nusantara. Tulisan-tulisan sang syekh tersebar luas dan terus dikaji di pusat-pusat keilmuan agama Islam di Nusantara, utamanya lingkungan pesantren. Salah satu kontribusi besar Syekh Abdus Shamad al-Palimbani adalah upayanya memperkenalkan tasawuf dengan perspektif baru (neo-sufi).

Dalam hal ini, ada dua karya penting Syekh Abdus Shamad al-Palimbani yakni Hidayat al-Salikin dan Sair al-Salikin. Masing-masing merupakan penjelasan sang penulis tentang dua kitab karangan Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali, yakni Bidayat al-Hidayah dan Lubab Ihya` Ulum al-Din. Chatib Quzwain, dalam Mengenal Allah: Studi mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh 'Abdus Samad al-Palimbani, menjelaskan motif sang syekh dalam menulis dua karya tersebut. Karya-karyanya ini diharapkannya dapat menjadi panduan yang tepat bagi mereka yang berkeinginan memasuki jalan tasawuf tetapi belum punya basis keilmuan agama yang memadai.

Di luar dunia tasawuf, menurut Azra, ulama besar asal Sumatra Selatan ini juga berperan menyebarkan ideologi anti-penjajahan. Syekh Abdus Shamad al-Palimbani diketahui ikut menyerukan jihad terhadap Belanda yang menindas kaum Muslim di seantero Nusantara. Peran ini dielaborasi lebih lanjut oleh Muhammad Julkarnain dalam artikelnya untuk jurnal Tajdid (Januari-Juni 2016). Karya besar Syekh Abdus Shamad tentang jihad adalah kitab Nasihat al-Muslimin wa Tadzkirat al-Muminin fi Fadhail al-Jihad fi Sabilillah wa Karamat al-Mujahidin fi Sabilillah.

Julkarnain menjelaskan, Nasihat al-Muslimin berisi antara lain penafsiran Syekh Abdus Shamad tentang 35 ayat Alquran yang berkenaan dengan jihad. Sang syekh juga dalam menyertakan sedikitnya 13 teks hadits beserta penjelasan di dalam uraiannya. Kitab tersebut dibuka dengan bab yang menjelaskan keutamaan mujahid (orang yang melakukan jihad) sebagai bagian dari kaum beriman. Bab berikutnya menjelaskan tentang dasar jihad dalam Alquran.

Syekh Abdus Shamad mengutip dan menjelaskan makna surah al-Anfal ayat 60, yakni bahwa dalam melawan orang-orang kafir, kaum beriman yang melangsungkan jihad perlu melengkapi diri dengan persenjataan. Namun, Julkarnain menyimpulkan, sang syekh tidak berhenti pada uraian tentang jihad secara fisik.

Penulis Nasihat al-Muslimin tersebut juga menegaskan, pentingnya kondisi ketertindasan atau diperangi terlebih dahulu untuk dapat memulai suatu jihad. Artinya, jihad tidak lain merupakan upaya untuk mempertahankan diri di hadapan penjajah, bukan justru menjadi dalih memulai penjajahan. Adapun bagian akhir dari kitab itu memaparkan doa-doa yang penting bagi kaum yang melakukan jihad.

Julkarnain memandang, Nasihat al-Muslimin cukup menjadi bukti bahwa Syekh Abdus Shamad al-Palimbani bukanlah seorang sufi saleh yang pasif, melainkan aktif untuk memperjuangkan kehormatan umat Islam. Keteguhan seorang salik, cendekiawan, dan pembimbing masyarakat ada pada diri tokoh asal Sumatera Selatan abad ke-18 ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement