Selasa 31 Oct 2017 18:27 WIB

Pancasila Mencerminkan Kerukunan di Tengah Kemajemukan

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Agus Yulianto
Presiden Joko Widodo menyampaikan arahan saat bertemu tokoh-tokoh agama yang tergabung dalam Asosiasi Forum Kerukunan Umat Beragama saat pertemuan di Istana Bogor (Ilustrasi)
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Presiden Joko Widodo menyampaikan arahan saat bertemu tokoh-tokoh agama yang tergabung dalam Asosiasi Forum Kerukunan Umat Beragama saat pertemuan di Istana Bogor (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia bisa jadi rol model dunia dalam hal kerukunan dan perdamaian. Tapi, Bangsa Indonesia harus percaya dengan kekuatan dialog.

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Iqbal Sullam menilai, bangsa Indonesia yang menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, sudah mencerminkan kerukunan di tengah kemajemukan. Ia mengatakan, sebetulnya secara kenyataannya, Indonesia sudah menjadi rol model dalam hal kerukunan dan perdamaian.

Sejak dicanangkannya Pancasila sebagai filosofi Bangsa Indonesia, otomatis sudah mencerminkan kerukunan antar umat beragama. "Dengan sangat piawai, para pendiri bangsa mewujudkan Pancasila. Kelihatan legowonya ulama dan tokoh-tokoh Islam untuk melepaskan Piagam Jakarta," kata KH Iqbal kepada Republika.co.id, Selasa (31/10).

Kiai Iqbal mengatakan, hal ini membuktikan para pendiri bangsa melihat sesuatu yang lebih mendasar. Mereka telah melakukan suatu kebajikan. Tapi, sekarang banyak orang yang bicara bijak, di Indonesia juga banyak orang bijak. Namun, yang berbuat kebajikan tidak terlalu banyak.

Dia menerangkan, kebajikan tidak selalu datang dari seorang intelektual dan pemimpin. Kalangan bawah pun bisa berbuat suatu kebajikan. Saat ini, Indonesia membutuhkan orang-orang yang berbuat kebajikan.

Sedangkan terkait persoalan kesenjangan sosial, ekonomi dan politik yang bersikap sektarian, yang menjadi hambatan terciptanya kerukunan dan perdamaian di Indonesia, Kia Ikbal mengatakan, agar hambatan-hambatan ini bisa diatasi, maka harus banyak orang yang berbuat kebajikan.

"Ahli-ahli politik bijak dalam menggalang kekuatan politik, para orang kaya bijak dalam mengumpulkan modal, politisi bijak menggiring orang dalam politik. Tapi kebajikan? Para konglomerat sejak zaman Soeharto pun mereka menolak untuk berbuat kebajikan," ujarnya.

Menurut dia, saat ini banyak yang bijak, tapi sedikit yang berbuat kebajikan. "Kebijakan tanpa kebajikan tidak sempurna," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement