Ahad 26 Mar 2017 21:00 WIB

Menyembah Allah dalam Koridor Tauhid Uluhiyah

Rep: ahmad islamy Jamil/ Red: Agung Sasongko
Mentauhidkan Allah (ilustrasi).
Foto: Wordpress.com
Mentauhidkan Allah (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Mengesakan Allah SWT—atau lebih dikenal dengan istilah tauhid—menjadi fondasi mutlak dalam agama Islam. Dengan bertauhid, seorang Muslim tidak saja dituntut mengakui keesaan Allah SWT secara lisan, tetapi juga membuktikan keimanannya lewat amal perbuatan. Dalam pengamalannya, tauhid dibagi menjadi tiga, yaitu rububiyah, uluhiyah, serta tauhid asma wa sifat.

Secara konseptual, tauhid rububiyah berarti mengakui Allah SWT sebagai satu-satunya Zat yang menciptakan, menguasai, dan mengatur alam semesta. Sementara, tauhid uluhiyah adalah melakukan penyembahan kepada Allah SWT sebagai bentuk pengakuan atas keesaan-Nya tersebut. Penjelasan tentang tauhid uluhiyah inilah yang dibahas secara panjang lebar oleh Ustaz Khalid Basalamah dalam pengajian rutin yang digelar Majelis Taklim Istiqamah di kawasan Condet, Jakarta Timur, Senin (20/3).

Dalam menyampaikan materinya, dai lulusan Universitas Madinah itu merujuk kepada Pasal III (tiga) Kitab Minhajul Muslim karya Syekh Abu Bakar Jabir Al Jazairi. Pada kesempatan kali ini, Ustaz Khalid Basalamah mengawali kajiannya dengan kalimat laa ilaaha illallaah yang berarti "tiada ilah kecuali Allah". Dia menjelaskan, kata "ilah" yang terdapat dalam kalimat tauhid itu bermakna sesembahan.

Dengan menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan, sudah barang tentu ada konsekuensi yang harus dijalankan oleh setiap Muslim, yaitu menyembah-Nya. "Dalam penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, menyembah Allah itu harus dilakukan dalam wujud kepatuhan, ketundukan, dan kecintaan kita kepada-Nya," ujar Khalid.

Menurut konsep tauhid uluhiyah, menurut dia, segala perbuatan yang berkaitan dengan bentuk penyembahan kepada Allah itu disebut ibadah. Bentuknya bermacam-macam, dari shalat, membaca Alquran, berzikir, hingga berdoa atau meminta pertolongan dengan menyebut-nyebut nama-Nya. "Dengan kata lain, tauhid uluhiyah dapat diartikan mengesakan keilahan Allah SWT dari sisi ibadah," ucap Khalid.

Ibadah atau penyembahan kepada Allah SWT memang menjadi tujuan utama diciptakannya manusia ke dunia. Hal itu seperti yang telah ditegaskan-Nya dalam Alquran. "Dan, tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan untuk beribadah kepada-Ku," (QS adz-Dzariyat [51]: 56). Khalid menuturkan, ibadah adalah fasilitas atau sarana yang sengaja disediakan Allah SWT kepada manusia agar bisa berhubungan langsung dengan-Nya.

Untuk menggunakan fasilitas tersebut, ada tata cara yang harus diikuti. Tata cara ibadah itu diajarkan Allah melalui rasul utusan-Nya, yaitu Nabi Muhammad SAW. Seperti ketika menunaikan shalat, misalnya. Ada rukun dan syarat yang harus dipatuhi. Mulai menyucikan diri, menghadap kiblat, dilakukan pada waktu yang telah ditentukan, dan sebagainya. Begitu pula halnya ibadah haji, ada tata cara yang mesti diikuti. Dalam kamus Islam, ibadah yang syarat dan rukunnya diatur secara khusus seperti ini dikenal dengan istilah 'ibadah maghdhah'.

Selain ibadah maghdah, aktivitas yang kita kerjakan sehari-hari pun dapat menjadi ibadah. Dalam konteks tauhid uluhiyah, segala perbuatan baik, rasional, dan bermanfaat, yang dilakukan karena mengharap ridha Allah, termasuk bagian dari wujud penyembahan seorang Muslim kepada-Nya. "Istri yang memasak makanan untuk suaminya karena Allah, suami yang menasihati istrinya karena Allah, ataupun orang tua yang mengantar anaknya ke sekolah setiap hari karena Allah, semua itu juga menjadi ibadah. Karena ibadah itu tidak hanya perbuatan, tetapi niat dan perkataan juga," ungkapnya.

Dengan begitu, konteks tauhid uluhiyah sejalan dengan definisi iman menurut jumhur ulama, yaitu membenarkan dalam hati (tashdiiqun bil qalbi), menyatakan dengan perkataan (ikraarun bil lisaan), dan mengamalkan lewat perbuatan ('amalun bil arkaan). Pada prinsipnya, menurut Khalid, ibadah harus ditunaikan seperti yang Allah mau, bukan semaunya kita. Beribadah pun harus mengacu pada tuntunan Nabi SAW. "Kepatuhan dan ketaatan menjadi asas atau kata kunci dalam menjalankan ibadah," ujarnya.

Dalam satu riwayat disebutkan, pada zaman Nabi SAW pernah ada tiga lelaki yang ingin beribadah kepada Allah dengan caranya masing-masing. Di antara mereka ada yang mengatakan, "aku tidak akan menikah dengan wanita." Yang lain mengatakan, "aku tidak akan memakan daging." Sementara, yang lain lagi mengatakan, "aku tidak akan tidur dengan alas." Mendengar hal itu, Nabi SAW bersabda, "Apa yang diinginkan orang-orang yang berkata-kata seperti itu? Padahal, aku sendiri shalat dan tidur, berpuasa dan berbuka, serta menikahi wanita. Barang siapa yang tidak menyukai sunahku, ia bukan termasuk golonganku," (Shahih Muslim No 2487).

Koordinator Majelis Taklim Istiqamah Sabria Umar menuturkan, kajian tauhid bersama Ustaz Khalid Basalamah secara rutin digelar di Gedung Graha Delta Rona yang beralamat di Jalan Raya Tengah No 99 Condet, Kramat Jati, Jakarta Timur. Saat ini, ada puluhan peserta yang mengikuti siraman rohani di tempat itu. Mereka tidak hanya terdiri dari kaum perempuan, tetapi lelaki juga. "Setiap bulan ada tiga kali pertemuan, yaitu pada Senin pekan pertama, kedua, dan ketiga," ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement