Ramadhan adalah waktu sensitif bagi Muslim di Xinjiang. Ini karena beberapa tahun silam di wilayah itu terjadi serangan mematikan yang menewaskan ratusan orang. Dan pada Ramadhan tahun ini perasaan was-was muncul kembali. Hal ini terjadi karena pihak pemerintah Cina semakin gencar melakukan tindakan pengawasan kepada warga Xinjiang dengan menerbitka aneka aturan baru yang represif.
Polisi di wilayah utara-barat Cina, seperti diberitakan laman BBC News meminta beberapa warga Xinjiang memberikan sampel DNA dan data biologis lainnya ketika mengajukan dokumen perjalanan atau paspor. Orang-orang di daerah multi-etnis Yili, yang tinffal di perbatasan Kazakhstan misalnya harus memberikan identifikasi tambahan sebelum diizinkan pergi ke luar negeri terutama ke wilayah Cina, Hong Kong, Makau, serta Taiwan.
Banyak umat Islam di Xinjiang mengatakan pemerintah Cina melakukan didiskriminasi. Mereka mengatakan, pihak berwenang Cina sering menolak mengeluarkan dokumen yang memungkinkan mereka melakukan perjalanan.
Seperti diberitakan surat kabar Yili Daily, orang-orang yang ingin melamar perjalanan ke luar negeri harus menyediakan sampel darah, sidik jari, rekaman suar,a dan gambar tiga dimensi.
Kebijakan ini efektif berlaku sejak 1 Juni. Yili Daily tidak memberikan alasan langsung untuk aturan baru ini. Tapi, surat kabar tersebut mengatakan dua penyederhanaan proses aplikasi tahun lalu membuat terjadinya peningkatan besar jumlah pelamar.
Ibu kota prefektur Yili, Gulja yang juga dikenal di Cina sebagai Yining adalah tempat terjadinya kerusuhan etnis mematikan pada 1997 yang menewaskan 10 orang.