REPUBLIKA.CO.ID, TOBAGO -- Trinidad & Tobago, sebuah negara kepulauan penghasil minyak di kawasan Karibia, bisa disebut sebagai negeri yang ramah bagi kaum Muslimin. Meski mayoritas penduduk negara itu beragama Nasrani, namun tingkat toleransi mereka terhadap umat Islam terbilang tinggi.
Berdasarkan catatan Pew Research Center, jumlah Muslim yang mendiami Trinidad & Tobago pada 2000 mencapai 78 ribu jiwa atau sekira 6,6 persen dari total penduduk negara itu. Mayoritas dari mereka bermukim di Pulau Trinidad.
Kini, setelah 15 tahun berlalu, populasi umat Islam di Trinidad & Tobago diperkirakan meningkat menjadi 100 ribu jiwa, atau sekitar delapan persen dari total penduduknya. Catatan tersebut sekaligus menempatkan Islam sebagai agama terbesar ketiga di negeri Karibia itu, setelah Kristen dan Hindu.
Model toleransi yang diterapkan Pemerintah Trinidad & Tobago dalam kehidupan beragama, layak menjadi contoh bagi negara-negara mayoritas non-Muslim lainnya.
Di sana, umat Islam tidak sekadar memperoleh kebebasan dalam menjalankan ibadah. Lebih dari itu, Hari Raya Idul Fitri—yang merupakan hari besar Islam—bahkan ditetapkan sebagai salah satu hari libur nasional di negara kepulauan itu.
Umat Islam di Trinidad & Tobago juga dilibatkan secara aktif oleh pemerintah setempat ketika mengambil berbagai keputusan politik. Seperti pada pertengahan tahun lalu misalnya, Perdana Menteri Kamla Persad-Bissessar sengaja menggelar pertemuan dengan sejumlah komunitas Muslim di negeri itu.
Tujuan pertemuan tersebut adalah untuk membahas jadwal penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2015 yang tepat, supaya tidak berhimpitan dengan pelaksanaan puasa Ramadhan 1436 H. Dengan begitu, kaum Muslimin diharapkan dapat melaksanakan ibadahnya secara maksimal selama bulan suci itu.