Kamis 19 Jul 2012 12:17 WIB

Muslim di Havana, Susahnya Hidup di Negeri Komunis (2)

Rep: Fitria Andayani/ Red: Chairul Akhmad
Muslimah Kuba di Kota Havana melaksanakan shalat jamaah di apartemen.
Foto: news.yahoo.com
Muslimah Kuba di Kota Havana melaksanakan shalat jamaah di apartemen.

REPUBLIKA.CO.ID, Saat ini, kata Pedro, terdapat 300 orang penduduk Havana yang berpindah agama ke Islam, dari sekitar 1.500 Muslim yang ada di Kuba.

Mereka kebanyakan adalah diplomat dan pelajar asing seperti dari Pakistan dan Indonesia. Namun, tidak sedikit yang merupakan penduduk asli Havana yang menjadi Muslim, seperti dirinya.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh, Muslimah Kuba, Noalia Gladys Carmen Perez. Menurutnya, dia dan orang dewasa lainnya telah mengalami sejumlah penentangan terhadap keyakinan mereka.

"Saya menerima reaksi yang baik, orang-orang yang menyapamu dengan hormat. Ada juga orang-orang yang tidak menyukai," ujarnya. 

Selain itu, Muslim di Havana masih mengalami banyak tantangan. Salah satunya dalam mengimplementasikan perintah untuk menjaga makanan. Di Havana, babi masih menjadi daging paling populer dan paling menarik. Sehingga banyak Muslim di sana yang menganggap tidak masalah bila mereka bersikap fleksibel atas larangan tersebut.

Banyak yang juga merasa sulit untuk mengadopsi beberapa kebiasaan Muslim di negara dengan iklim sentuhan seperti di Havana. Di sana, sudah jadi kebiasaan bagi pria dan wanita untuk saling menyapa dengan disertai kecupan di pipi.

Mualaf lainnya, Ibrahim Kinsan, mengaku tidak bisa benar-benar meninggalkan kebiasaan tersebut. Apalagi sebagian besar rekan kerjanya adalah kaum wanita. "Sekarang saya sudah masuk Islam, tapi saya tidak bisa langsung berubah menjadi orang asing. Kebanyakan dari mereka menyapa saya dengan kecupan dan tradisi itu tidak akan hilang,” katanya.

Sementara jilbab menurut Noalia, tidak pernah menjadi masalah di sekolah-sekolah di Havana. Hal ini disebabkan karena Islam masih relatif baru di negara tersebut. Meskipun sering mendapatkan komentar yang tidak sedap. "Mereka akan berkata, 'Pasti sangat panas,' dan komentar-komentar seperti itu sebagai bentuk kritik," tuturnya.

Namun, hanya sedikit yang bisa menunaikan shalat di tempat kerjanya, baik karena jadwal mereka atau norma sosial yang tidak mengizinkannya. Akibatnya, umat Muslim Havana lebih sering melaksanakan shalat di rumah. Selain tidak ada masjid yang berdiri di Havana.

Menurut Pedro, tantangan inilah yang harus bisa dihalau oleh Muslim di Havana. Baginya, jumlah tidaklah penting dibandingkan kualitas keimanan Muslim di daerah tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement