REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- George A Makdisi dalam bukunya, Cita Humanisme Islam, menjelaskan, seorang penulis pernah mengungkapkan perjalanan karier seorang perdana menteri pada abad ke-10, bernama Abu Ja'far ibn Shirzd. Pada permulaan kariernya, ia ditawari gaji sebesar 10 dinar per bulan.
Tawaran ini diberikan ayahnya yang saat itu menjadi seorang kepala kantor. Namun, Abu Ja'far menolaknya, lalu ia melamar di Departemen Kekayaan Negara (Dhiwan al-Dhiya). Ia diterima di tempat tersebut sebagai pegawai magang bidang akuntansi dengan gaji 20 dinar per bulan.
Ada seorang ahli bahasa, Hisyam ibn Mu'awiyah, meninggal pada 824 Masehi, mendapatkan gaji bulanan sebesar 10 dinar per bulan. Ini merupakan imbalan sebagai pengajar seorang anak dari seorang pejabat pemerintah.
Sedangkan, Ibn al-A'rabi yang merupakan murid al-Kisai mendapatkan gaji per bulan sebesar 1.000 dirham atau 65 dinar. Bahkan, terungkap bahwa Pangeran Dinasti Tahiriyah, Muhammad ibn Abdullah, membayar Tsalab, seorang guru di lingkungan istana, sebesar 1.000 dirham per bulan.
Kekayaan Tsalab berlimpah. Sebab, saat ia meninggal dunia, harta kekayaannya mencapai 12 ribu dinar. Di antara kekayaan tersebut berupa 3.000 unit toko. Apalagi, Tsalab juga memiliki seorang murid yang memiliki harta warisan berlimpah.
Selain Tsalab, muncul nama Al-Zajjaj. Ia dikenal sebagai guru privat yang kaya. Sebab, selain mendapatkan gaji sebagai pengajar privat, ia juga mendapatkan gaji dari jabatan lainnya sebagai penasihat hukum dan ulama.
Tak heran, jika Al-Zajjaj mendapatkan gaji hingga 300 dinar. Di sisi lain, seorang dokter mendapatkan bayaran tinggi. Misalnya, ada seorang dokter Kristen di masa kekuasaan Islam, Ibn Tilmidz, memiliki pendapatan tahunan yang jumlahnya lebih dari 20 ribu dinar.
Ada pula kisah tentang Muhadzdzab al-Din Ibn al-Naqqasy. Ia merupakan seorang dokter dari Baghdad, Irak, pada abad ke-11. Ia pernah pergi ke Kota Damaskus untuk mencari pekerjaan. Sayangnya, ia belum berhasil mendapatkan pekerjaan yang diharapkannya.
Al-Naqqasy kemudian memutuskan untuk bergegas ke Mesir yang saat itu di bawah kekuasaan Dinasti Fatimiyah. Ia menemui seorang dokter kepala di istana dan mengutarakan maksudnya. Gayung pun bersambut, ia mendapatkan pekerjaan di sana.
Lalu, al-Naqqasy mendapatkan imbalan tiap bulan sebesar 15 dinar. Ia pun mendapatkan apartemen lengkap dengan perabotannya, seperangkat pakaian mewah, dan seekor keledai terbaik. Di sisi lain, ia pun mendapatkan seorang budak.
Para cendekiawan yang menguasai sejumlah bidang humaniora, juga memiliki penghasilan dari keahliannya itu. Pada masa Khalifah al-Ma'mun, ditetapkan penggajian bagi cendekiawan di bidang humaniora. Di antaranya, imbalan atas penulisan atau penerjemahan sebuah karya.
Penerjemahan sebuah karya dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab, yang dilakukan seorang dokter bernama Ibn Hunayn ibn Ishaq, Khalifah al-Ma'mun membayarnya dengan emas yang didasarkan pada bobot dari buku tersebut.
Saat itu, Hunayn menggunakan kertas tebal untuk menuliskan terjemahannya. Sehingga, bobot buku terjemahan itu sangat berat dan ia mendapatkan pembayaran emas sangat banyak. Ia menjadi seorang kaya raya dari imbalan atas jasa penerjemahannya itu.
Tak hanya gaji, ada pula bonus, hadiah, maupun honorarium yang diperoleh para cendekiawan Muslim tersebut. Seorang ahli nahwu, al-Ahmar, memperoleh honorarium yang besar dari bekas muridnya, yang bernama al-Amin.
Al-Ahmar mengatakan pada suatu hari ia duduk sebentar dengan al-Amin. Muridnya yang kaya itu, memberinya sekantong uang berisi 3.000 dirham. Menurut dia, setelah mendapatkan uang itu seketika ia menjadi orang kaya dan memutuskan untuk cuti dalam kurun beberapa saat.