Senin 12 Feb 2018 14:48 WIB

Pengaruh Cita Rasa Kuliner Dunia Islam

Sentuhan Islam dalam makanan tradisional Eropa begitu terlihat.

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Agung Sasongko
Ilustrasi kafilah dagang di gurun pasir
Foto: saharamet.org
Ilustrasi kafilah dagang di gurun pasir

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA  -- Pada 1258, bangsa Mongol menaklukkan Baghdad dan menggulingkan Dinasti Abbasiyah. Sementara, Kristen Iberia terus mendesak komunitas Muslim hingga selatan Andalusia.

Meski begitu, pengaruh kuliner Islam tetap tak tercegah pengaruhnya. Pada 1300-an, kota-kota di Asia Tengah bermunculan, seperti Samarkand, Bukhara, dan Merv bersamaan dengan Ke sultanan Islam di Delhi, India, Dinasti Mongol yang meninggalkan jejaknya di Cina, dan pengaruh Kristen di Eropa.

Di India Tengah, seperti diilustrasikan dalam Kitab tentang Kesenanganyang ditulis pada akhir abad ke-15, Sultan Mandu Ghiyat al- Din berada di taman bersama para koki wanitanya. Resep samosa, satai, bola daging, dan penganan manis muncul di antara resep parfum dan obat-obatan.

Di Cina, ada pula buku tentang makanan yang ditulis oleh Kepala Tabib dan Rumah Tangga Istana Kekaisaran Cina, Hu Szu-hui, pada 1.300-an. Buku itu berjudul Hal-Hal Penting bagi Makanan dan Minuman Kaisar.

Buku tersebut menjelaskan bagaimana bangsa Mongol mengadopsi elemen makanan adiluhung dari raja-raja mereka sebagai bagian diplomasi. Sentuhan Islam dalam makanan tradisional Mongol terlihat, misalnya, pada sup yang dikentalkan menggunakan beras harum atau kacang, membumbuinya menggunakan kayu manis, kelabat, safron, kunyit, sari mawar, lada hitam, dan cuka.

Mereka menyiapkan makanan berbahan dasar mi dengan saus yogurt yang dicampur bawang seperti di Turki. Juga membuat isian pangsit seperti yang ada di Timur Tengah. Mereka membuat minuman dan penganan manis bergaya dunia Islam, termasuk minuman dari sari buah, selai, jeli, dan sirup.

Untuk membuat beragam makanan itu, bang sa Mongol memasok bahan-bahan makanan dari dunia Islam. Tak hanya bahan makanan, Mongol juga mengimpor aneka perangkat makan dari dunia Islam.

Di Barat, Eropa mulai menemukan titik baliknya. Kota-kota kembali bergeliat. Teori kuliner yang mengandung unsur Islam kembali memasuki Eropa pada akhir abad ke-10 di Salernom, Naples. Kota kecil ini terkenal karena sebuah buku terjemahan seorang mualaf Afrika, Constantine, yang berjudul Resep Kesehatan Orang Salerno.

Perang Salib pada abad ke-11 melempangkan jalan bagi cita rasa makanan dunia Islam untuk menyentuh Eropa. Kala itu, para pedagang dari Genoa, Barcelona, dan Venesia berda gang dengan para pedagang Muslim yang akhirnya ikut merasakan rasa masakannya. Para pedagang itu membeli kuali dari Afrika Utara dan menjualnya di selatan Eropa.

Kristen akhirnya tak lepas dari warna kuliner dunia Islam. Di Spanyol, misalnya, makanan dari dunia Islam berbahan dasar rebusan daging yang diberi saus dikenal sebagai capirotada. Couscous juga dikenal di Sisilia dan Spanyol. Adonan tepung yang digoreng lalu diolesi madu atau ditaburi gula jadi bunuelos, beinets, dan donat yang dimakan pada hari-hari perayaan umat Katolik.

(Baca: Jejak Kuliner Islam)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement