Selasa 16 Jan 2018 17:00 WIB

Melawan Penjajah dengan Tarekat

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Agung Sasongko
Pangeran Diponegoro
Foto: Dok Republika
Pangeran Diponegoro

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Saat menjalani pengasingan sebagai tahanan kolonial, pangeran bergelar Raden Mas Ontowiryo ini menulis autobiografi yang kemudian berjudul Babad Diponegoro. Melalui teks yang sekarang berstatus Memory of the World versi UNESCO itu, sang pangeran menuturkan perjalanan hi dupnya.

Kisah bermula ketika Pangeran Diponegoro yang berusia tujuh tahun di asuh nenek buyutnya, Ratu Ageng, di Tegal reja. Kompleks tersebut berada sekitar tiga kilometer sebelah barat Keraton Yogyakarta.

Pada waktu itu, Ratu Ageng sudah berusia 60 tahun. Menyingkirnya dari Keraton lantaran tidak tahan dengan gaya hidup anaknya, Sultan Hamengkubuwono II, penguasa Yogyakarta saat itu. Babad Diponegoro mengenang perempuan ini sebagai sosok yang saleh dan berjiwa kesatria.

Di masa mudanya, Ratu Ageng pernah menjadi komandan regu putri pengawal raja. Selain itu, bersama dengan suaminya, Sultan Hameng kubuwono I, dia bertempur melawan Belanda hingga ditandatanganinya Perjanjian Giyanti.

Meskipun berstatus ningrat, Ratu Ageng hidup berbaur dengan masyarakat setempat. Secara tidak langsung, Pangeran Diponegoro belajar kesetaraan melalui keturunan pendiri Kesultanan Bima itu

Ratu Ageng juga memberikan teladan hidup berdikari. Dalam usia renta, sosok yang akrab dengan dunia pesantren ini tidak begitu bergantung pada Keraton. Sawah miliknya yang diolah para petani sekitar Tegalreja mencukupi kebutuhannya.

Dari ajaran Ratu Ageng pula, kata Peter Carey, Pangeran Diponegoro menjadi mandiri ketika dewasa. Sebagai contoh, pada awal Perang Diponegoro, sang pangeran sanggup membiayai sendiri pasukannya.

Keteladanan yang paling penting dari Ratu Ageng ialah kecintaannya pada ilmu- ilmu agama. Kompleks Tegalreja sering mengundang dan juga menjadi kediaman alim ulama untuk memberikan pengajaran.

Hal ini didukung letak permukiman ini yang memang cukup dekat dengan tiga pathok negara pengajar Islam untuk kesultanan, yakni Kasongan, Papringan, dan Melangi. Peter Carey dalam Kuasa Ramalan (tiga jilid) menyebutkan, Pangeran Diponegoro sudah akrab dengan kalangan santri setidaknya sejak masih tinggal di Keraton.

Oleh karena itu, tidak mengherankan bila pengasuhan oleh Ratu Ageng menimbulkan kesan mendalam di hati sang pangeran kecil. Di antara para ulama yang pernah mengajar di Tegalreja adalah Syekh al-Ansari, Kiai Ngusman Ali Basah, dan Haji Baradudin.

Kiai Ngusman pernah memimpin Masjid Suronatan, tempat ibadah pribadi sultan Yogya. Adapun Haji Badarudin tercatat dua kali naik haji serta mempelajari bentuk pemerintahan Kesultanan Utsmaniyah atas dukungan Keraton.

Sejak di Tegalreja pula, Pangeran Diponegoro mulai mengenal tarekat Naqsabandiah atau Syatariah, yang pada akhirnya menjadi basis semangat perjuangannya melawan kolonialisme.

Abdul Hadi WM dalam Cakrawala Budaya Islam menambahkan, Pangeran Diponegoro mulai menggemari pustaka sejak di Tegalreja. Kitab-kitab Jawa kuno semacam Mahabharata dan Ramayana telah dibacanya.

Pangeran Diponegoro juga menelusuri teks-teks islami, seperti Tajus Salatinkarya Bukhari al-Jauhari, seorang sufi Aceh dari abad ke-17. Kitab itu mempersoalkan tentang sistem kekuasaan yang ideal menurut Islam. Guru besar Universitas Paramadina itu menjelaskan, Tajus Salatin menjadi rujukan sang pangeran, bahkan selalu dibawanya selama perang berlangsung.

Selain itu, dia juga mempelajari antara lain at-Tuhfah karangan Ibn Hajar, Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali, dan epos- epos kepahlawanan Islam. Di samping itu, tentunya dia mendaras kitab suci Alquran beserta tafsirnya.

Ratu Ageng meninggal dunia pada 1803. Jasadnya dikebumikan di kompleks permakaman keraton, Imogiri. Betapa sedihnya Pangeran Diponegoro, yang saat itu berusia 18 tahun. Peter Carey menjelaskan, dua tahun kemudian sang pangeran memutuskan untuk berkelana, keluar dari lingkungan istana. Dia hendak menjalani pengembaraan spiritual agar lepas dari kungkungan duniawi.

Pangeran Diponegoro mulai mengunjungi masjid-masjid dan pesantren-pesantren di kawasan Yogyakarta demi mendalami ilmu-ilmu agama. Atas saran Syekh al-Ansari, Pangeran Diponegoro memakai nama baru, yakni Syekh Ngabdurrahim.

Pangeran Diponegoro juga mencukur rambutnya agar tidak tampil mencolok di tengah para santri desa. Hal ini dipahami sebagai upaya sang pangeran agar dapat diterima dan akrab dengan mereka. Sebab, menurut norma keraton Jawa saat itu, pria ningrat dikenali dari rambutnya yang panjang.

Tidak hanya itu, dia juga menanggalkan pakaian kebangsawanannya. Pangeran Diponegoro lebih sering tampil dengan busana khas kaum santri abad ke-19, yakni baju putih, serban penutup kepala, dan sarung. Beberapa daerah pusat santri yang dikunjunginya terletak di selatan Keraton Yogya. Di antaranya adalah Gading, Sewon, Wonokromo, Jejeran, Turi, Kasongan, dan Dongkelan.

Tahap selanjutnya, Diponegoro melakukan khalwat. Aktivitas ini bertujuan agar dirinya sepi dari pamrih duniawi. Babad Diponegoro menyebutkan, dalam masa ini, sang pangeran dikatakan berjumpa dengan penampakan Sunan Kalijaga di Gua Song Kamal, Jejeran, Yogya selatan.

Bayangan itu mengatakan kepadanya soal masa depan keraton. Babad tersebut juga menceritakan destinasi selanjutnya Pangeran Diponegoro, yakni Imogiri. Suatu ketika, sang pangeran hendak shalat Jumat di Masjid Jumatan.

Di sinilah biasanya para juru kunci berkumpul dan beribadah. Begitu melihat Pangeran Diponegoro, yang berbusana layaknya santri sederhana, semua juru kunci memberikan penghormatan.

Menurut Peter Carey, hal ini menandakan betapa para alim ulama keraton mengakui kesalehan Pangeran Diponegoro. Belakangan, mereka juga mendukungnya ketika peperangan terjadi melawan Belanda.

Sesudah dari Parangkusumo, Pangeran Diponegoro memutuskan untuk kembali ke keraton sekitar tahun 1805. Babad Diponegoro mengisahkan alasannya, yakni penampakan Sunan Kalijaga yang memberitahukannya soal awal keruntuhan Tanah Jawa (wiwit bubrahTanah Jawa) pada beberapa tahun mendatang.

Sang pangeran juga diimbau untuk menggunakan gelar Syekh Ngabdulkamit Erucakra Sayidin Panatagama Kalifatul Rasulullah Senapati Ingalaga Sabilullah.Gelar tersebut terus disandangnya selama perang melawan Belanda berlangsung.

Sejarawan Ricklefs menduga, pemilihan nama ini lantaran Pangeran Diponegoro ingin menghubungkan dirinya dengan Sultan Abdul Hamid I, penguasa Utsmaniyah pada akhir abad ke-18. Dialah raja Turki pertama yang mengklaim sebagai pelindung politik umat Islam sedunia. Hal ini cukup beralasan bila memperhatikan, para penasihat Pangeran Diponegoro tidak sedikit yang telah berhaji.

(Baca: Pangeran Diponegoro)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement