Kamis 24 Aug 2017 17:15 WIB

Masih Ada Stigma Negatif Terhadap Muslim Thailand

Muslim Pattani saat melaksanakan shalat Idul Fitri di sebuah masjid di Kota Pattani, Thailand Selatan.
Foto: AP Photo/Sumeth Panpetch
Muslim Pattani saat melaksanakan shalat Idul Fitri di sebuah masjid di Kota Pattani, Thailand Selatan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat Muslim Melayu sebelumnya diminta untuk mengadopsi nama Thai. Akses mereka untuk belajar Agama Islam juga ditutup.

Pemerintah juga menghapuskan pengadilan Islam untuk menangani urusan keluarga Muslim. Seluruh pelajar dan mahasiswa di Thailand pun meski bukan pemeluk agama Buddha diwajibkan memberi penghormatan kepada gambar Buddha di sekolah-sekolah umum. Bila ada yang menolak melaksanakan kebijakan ini, akan ditangkap dan dijatuhi hukuman, bahkan tak jarang berujung kepada penyiksaan.

Meskipun kemudian pemerintah melunak dengan mencabut segala aturan yang menyulitkan umat Islam, seperti dikatakan sejarawan Asia Tenggara asal Singapura Michael Vatikiotis, tetap saja hubungan Muslim Melayu dengan Bangkok tak pernah membaik.

Ketika Thailand dipimpin Perdana Menteri Thaksin Sinawatra, upaya berdamai dengan Muslim Melayu pun telah diupayakan tetapi tak pernah membuahkan hasil. Thaksin mencoba memfasilitasi pelajar dari wilayah selatan dalam bentuk beasiswa pendidikan. Namun, Muslim Melayu menampik hal itu. Mereka menganggap Thaksin sedang berinvestasi agar kelak keturunan mereka berutang budi kepada Pemerintah Thailand.

Di tengah upaya yang dilakukan Thaksin, Bangkok justru semakin mengembangkan prasangka dan stigma negatif kepada Muslim Melayu sebagai kelompok krimimal yang berlindung di balik agama. Stigma itulah yang dimanfaatkan tentara Thailand untuk menggelar operasi militer di wilayah selatan.

Di tengah ketertindasan ini, kalangan Muslim Melayu semakin gencar menuntut agar Pemerintah Thailand memberikan otonomi khusus sehingga mereka dapat memerintah dan membuat kebijakan untuk mengatur kehidupan mereka sendiri.

Mereka yakin, dengan otonomi itu, Muslim Melayu dapat mengembangkan taraf hidup karena selama ini mereka merasa tidak memperoleh pengayoman dan perlakuan yang sama seperti penganut agama mayoritas di Thailand.

Menurut mereka, di negara yang heterogen ini, pemerintah sebagai pihak yang menaungi seluruh warga negara seharusnya mengembangkan budaya saling menghormati terhadap apa yang dianut dan dipercayai orang lain.

Disarikan dari Pusat Data Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement