Senin 24 Apr 2017 09:13 WIB

Menjadi Muslim di Sudan Selatan

sudan selatan
sudan selatan

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Sorak-sorai membahana di Kota Juba. Lagu “South Sudan Oyee” berkumandang di seantero kota. Kegembiraan dan kebahagiaan terpancar dari wajah puluhan ribu massa yang tumpah ke jalan-jalan. 9 Juli 2011 adalah hari bersejarah bagi rakyat Republik Sudan Selatan. Mereka merayakan hari kemerdekaan setelah lepas dari Republik Sudan.

Sudan Selatan menjadi negara termuda sekaligus yang termiskin dan tertinggal di dunia. Negeri berpenduduk 8,36 juta jiwa itu memproklamasikan kemerdekaannya pascareferendum yang digelar pada Januari 2011. Sebanyak 99 persen warga Sudan Selatan memilih merdeka.

Negara beribu kota Juba itu terletak di negara bagian khatulistiwa tengah sebelah selatan. Sudan Selatan merupakan negara yang terkurung daratan dengan luas mencapai 619.745 km persegi. Negeri itu berbatasan dengan Ethiopia di sebelah timur, sementara di selatan dengan Kenya, Uganda, dan Republik Demokratik Kongo. Sedangkan di bagian barat bertetangga dengan Republik Afrika Tengah dan di utara berdampingan dengan Sudan.

Berbeda dengan Sudan yang mayoritas penduduknya beragama Islam, di Sudan Selatan kaum Muslim hanyalah minoritas. Mayoritas penduduknya adalah penganut animisme atau agama warisan nenek moyang mereka, seperti Dinka. Pemeluk Kristen di wilayah itu mencapai 10 persen. Tak diketahui secara pasti jumlah kaum Muslim yang menetap di Sudan Selatan.

Umat Islam di Sudan Selatan memilih melepaskan diri dari Sudan pada saat referendum dilakukan. Meski selama konflik diperlakukan dengan baik oleh Pemerintah Sudan yang berkuasa di Khartoum, Muslim di Sudan Selatan menginginkan negara baru. Alasannya, selama berada di bawah pemerintahan Sudan Utara, mereka kurang diperhatikan.

“Mereka (Pemerintah Sudan) menjadikan kami (Muslim) sebagai warga kelas tiga,” ujar Juma Said Ali, wakil ketua Bidang Dakwah Majelis Muslim di Sudan Selatan, seperti dikutip Sudan Tribune.“Lebih baik bagi kami untuk memisahkan diri,” cetus Said Ali.

Padahal, menjelang referendum, ulama terkemuka di dunia, Syekh Yusuf al-Qaradhawi, meminta agar Muslim di Sudan Selatan tak ikut memilih. Menurut Syekh al-Qaradhawi, referendum itu hanyalah upaya dari Amerika Serikat dan negara-negara Barat untuk memecah Sudan. “Sudan adalah negara besar. Mereka sengaja tak menginginkan negeri ini survive,” ungkap ketua Persatuan Ulama Sedunia itu.

Sudan Selatan merupakan negara sekuler. Agama dan pemerintahan menjadi bagian yang terpisah. Presiden Sudan Selatan, Salva Kiir Mayardit, yang beragama Katolik Roma, berjanji akan menghormati kebebasan semua agama yang ada di negaranya. Salah seorang putra Presiden Salva Kiir yang beragama Islam bernama John malah menjadi seorang mualaf. Ia berganti nama menjadi Muhammad.

“Aku ingin masuk surga dan kembali ke Sudan Selatan untuk mengajak semua orang di sana agar memeluk Islam,” ujar John alias Muhammad. Perbedaan yang ada di keluarga presiden itu diharapkan bisa menjadi contoh bagi penduduk negeri termuda itu untuk menerima perbedaan agama dan menghormati perbedaan tersebut di dalam masyarakat.

Disarikan dari Pusat Data Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement