Ahad 31 Jul 2016 19:29 WIB

Cerita Muslim Inggris Era Victoria

Rep: Gita Amanda/ Red: Agung Sasongko
Muslimah Inggris
Foto: in-islam.com
Muslimah Inggris

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terpilihnya Sadiq Khan sebagai wail kota London memicu perdebatan di masyarakat mengenai bagaimana Islam dan Muslim pertama kali hadir di Inggris. Ternyata, pada masa-masa akhir era Victoria, sejumlah bangsawan, termasuk beberapa putri kerajaan Inggris, telah memeluk Islam.

Hari ini, seperti dilansir Aljazirah, Inggris memiliki populasi Muslim yang besar dan beragam. Lebih dari 2,7 juta Muslim tinggal di Inggris dan Wales.

Pada 1913, surat kabar Daily Mirror merespons masuknya Lord Headley ke agama Islam dalam artikelnya. Seperti Headley, banyak mualaf Muslim Inggris merupakan bangsawan muda atau anak-anak pedagang elite.

Selain itu, ada pula beberapa penjelajah, intelektual, dan pejabat tinggi kerajaan. Mereka umumnya bekerja dan tinggal di negara-negara Muslim di bawah pemerintah kolonial Inggris.

Profesor di Royal Holloway Universitas London Profesor Humayun Ansari mengatakan, cerita-cerita mualaf ini mencerminkan masa-masa sulit mereka. Saat itu, banyak pertanyaan mendalam yang diajukan mengenai agama dan sifat serta asal usul manusia.

"Ada pembantaian dan kekacauan dalam Perang Dunia I, gerakan perjuangan hak perempuan, pertanyaan mengenai imperialisme dan hak Inggris dan Kerajaan Barat lain. Dalam banyak hal, mereka yang pindah agama hidup dalam dunia yang sangat bermasalah. Lalu, mereka melihat perdamaian, spiritualitas, dan kesederhanaan dalam Islam, itu sangat menarik mereka," kata Ansari.

Cerita-cerita ini menunjukkan sebuah era di mana Islam dilihat sebagai cahaya yang jauh berbeda oleh masyarakat Barat dibanding sekarang.

Beberapa muslim di Era Victoria, antara lain:

William Quilliam (1856-1932)

William Quilliam yang kemudian berganti nama menjadi Abdullah Quilliam merupakan anak seorang pendeta Methodist yang menonjol di Liverpool. Pada 1856, Quilliam masuk Islam.

Ia telah melakukan perjalanan dari Inggris ke Maroko, Tunisia, dan Aljazair untuk mencari iklim yang lebih hanya untuk membantu pemulihan penyakitnya. Quilliam terpesona dengan Islam dan menenggelamkan diri mempelajarinya.

Quilliam yang memeluk Islam saat berada di Maroko, kembali ke Liverpool dan mulai menyebarkan keyakinannya. Pada usia 20-an tahun, ia mendirikan masjid pertama di Inggris yang dibuka tepat pada hari Natal 1889 di Liverpool. Quilliam diangkat menjadi pemimpin Muslim Inggris oleh khalifah terakhir Ottoman.

Ia juga menulis buku untuk memperkenalkan Islam kepada warga Inggris. Quilliam bahkan mengirimkan salinannya ke Ratu Victoria yang ternyata menikmati buku itu dan membuat salinan untuk anak-anaknya.

Lady Evelyn Cobbold (1867-1963)

Lady Evelyn Cobbold atau yang kemudian mengganti namanya menjadi Zainab merupakan bangsawan terakhir Victoria yang masuk Islam. Ia lahir di Edinburgh pada 1987 dan merupakan anak ketujuh dari Earl of Dunmore.

Pada 1933, saat berusia 65 tahun, ia menyatakan memeluk Islam dan menjadi wanita Barat pertama yang melaksanakan ibadah haji. Ia juga menulis buku berjudul Pilgrimage to Mecca yang mengisahkan perjalanannya.

Rowland Allanson-Winn (1855-1935)

Rowland Allanson-Winn atau lebih dikenal dengan Lord Headley menjadi Muslim pertama yang duduk di House of Lords. Pada 1913, ia masuk Islam dan berganti nama menjadi Syekh Rahmatullah al-Farooq. Pada 1914, ia memimpin Komunitas Masyarakat Muslim Inggris.

Lord Headley melihat Islam sebagai agama toleransi dan belajar Islam dari mentornya seorang ulama Islam Khwaja Kamaludin. Ia berangkat haji ke Makkah pada 1923. Saat sekarat, ia sempat menulis wasiat kepada anaknya yang meminta agar ketika meninggal, ia ingin dimakamkan di pemakaman Islam.

Marmaduke Pickthall (1875-1936)

Muhammad Marmaduke Pickthall merupakan sarjana Inggris yang lahir sebagai pendeta Anglikan. Sebelum masuk Islam, ia bepergian ke India dan Timur Tengah.

Pickthall masuk Islam pada 1917 dan melanjutkan menerbitkan terjemahan Alquran dalam bahasa Inggris modern. Terjemahannya itu kemduian disahkan oleh Universitas al-Azhar, Kairo, dan menjadi standar penerjemahan Alquran dalam bahasa Inggris saat ini.

Dalam kata pengantar dari terjemahannya, Pickthall mengatakan, Alquran tak bisa diterjemahkan. Menurutnya, penerjemahan Alquran dalam bahasa Inggris hanya upaya menghadirkan makna Alquran dalam bahasa Inggris.

Namun, menurutnya, terjemahan ini tak akan pernah menggantikan dan tak bertujuan menggantikan arti Alquran dalam bahasa Arab.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement