Selasa 24 Nov 2015 19:42 WIB

'Wahai Generasi Muslim, Menulislah'

Meluangkan waktu untuk menulis secara rutin sanggup mendorong kekuatan otak Anda.
Foto: Republika/Prayogi
Meluangkan waktu untuk menulis secara rutin sanggup mendorong kekuatan otak Anda.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Salah satu sunah yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW namun sedikit sekali dari kaum Muslim yang menyadarinya adalah menulis. Bahkan, Allah SWT  juga memerintahkan kita untuk menulis, walau dalam perintah-Nya tersebut dikaitkan dengan urusan utang piutang.

Prof Mustafa Azami dalam bukunya yang berjudul Kuttabun Nabi mengatakan, untuk urusan tulis-menulis, Rasulullah mempunyai 65 sekretaris. Sepeninggal Rasulullah, para  sahabat, tabi’in, dan ulama salafussholih memperkuat dan mengembangkan budaya tulis-menulis dan menjadikannya tradisi kaum Muslim.

Begitu pentingnya kegiatan menulis, Imam Syafii, salah satu imam mazhab fikih, mengungkapkan pernyataan terkenal, “Ilmu itu bagaikan binatang liar, menulis adalah pengikatnya”. Tradisi menulis bahkan berkontribusi besar bagi kejayaan peradaban Islam yang mencapai puncak pada periode pertama pemerintahan Dinasti Abbasiyah.

Seperti tertulis dalam sejarah, pada periode ini, secara politis para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan  perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di dunia Islam.

Salah satu kegiatan keilmuan yang terkait dengan penulisan dan sangat dihargai oleh para khalifah dari dinasti ini adalah kegiatan menerjemahkan karya-karya bahasa asing ke dalam bahasa Arab.

Salah satu faktor yang membuat kaum Muslim terutama ulamanya begitu semangat menyalin dan menerjemahkan karya-karya asing itu karena imbalan yang diberikan sangat tinggi untuk ukuran waktu itu, bahkan juga untuk ukuran sekarang. Namun setelah periode ini berakhir, dalam bidang politik pemerintahan Bani Abbas mulai menurun.

Kendati demikian, filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang melalui budaya dan tradisi menulis. Ulama pada masa tersebut tidak hanya menulis persoalan agama, tetapi juga disiplin ilmu yang lain, seperti kedokteran, geografi, optik, kartografi, farmasi, kimia, astronomi, matematika, dan ilmu lainnya lengkap dengan ilustrasi yang menarik.

Bahkan, sebagian besar karya mereka menjadi rujukan utama para ilmuan Barat dan menjadi masterpiece, seperti karya Ibnu Sina di bidang kedokteran yang berjudul Al-Qanun fi ath-Thibbi dan Asy-Syifa. Berkat karya-karyanya, mereka pun menjadi terkenal dan ditokohkan bukan saja oleh dunia Islam, tetapi seluruh dunia.

Selain Ibnu Sina, tokoh lainnya adalah Al-Khawarizmi yang dijuluki Bapak Aljabar (bagian ilmu dari Matematika); Al-Haitsam berjuluk Bapak Optik sekaligus penemu kamera analog; Al-Idrisi disebut sebagai Bapak Kartografi; Al-Biruni yang dijuluki Bapak Indologi (studi tentang India), Bapak Geodesi, dan Antropolog.

Juga ada Ibnu Khaldun yang dijuluki Bapak Ekonomi dan Bapak Sosiologi, serta banyak ilmuwan lainnya. Walau kemudian peradaban Islam tenggelam, yang salah satu sebab utamanya karena ketidakmampuan para khalifah mempertahankan kekuasaannya, tradisi menulis di kalangan ulama tidaklah luntur, tak terkecuali ulama Indonesia.

Khusus di Betawi, menurut Ridwan Saidi, puncak produktivitas menulis ulama Betawi terjadi pada pertengahan abad ke-19 hingga dasawarsa pertama abad ke-20.  Setelah era itu, ulama Betawi tidak terlalu banyak menulis dan melahirkan karya-karya yang monumental.

Namun kini, usaha menggiatkan peran ulama Jakarta, khususnya ulama Betawi, untuk menulis tidaklah kendur. Salah seorang ulama Betawi yang getol mengajak ulama lainnya menulis adalah Dr KH Ahmad Lutfi Fathullah Mughni, MA. Dia adalah ulama yang rajin menulis dan telah menghasilkan banyak karya, baik bentuk buku maupun CD interaktif.

Sumber: Pusat Data Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement