Senin 16 Nov 2015 21:40 WIB

Perkembangan Percetakan Dunia Islam Tertinggal, Apa Sebabnya?

Manuskrip Alquran tertua yang ditemukan di Birmingham, Inggris.
Foto: mirror.co.uk
Manuskrip Alquran tertua yang ditemukan di Birmingham, Inggris.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dunia penerbitan Islam memang telah berkembang dari abad pertengahan. Saat itu, manuskrip atau buku ditulis dengan tangan. Ketika zaman telah memasuki abad ke-18 M, penerbitan buku mulai berubah seiring berkembangnya teknologi percetakan.

Sayangnya, dunia Islam mengalami keterlambatan dalam penggunaan teknologi percetakan. John L Esposito dalam Ensiklopedi Oxford mengungkapkan, salah satu alasan terlambatnya perkembangan percetakan di dunia Islam karena adanya penolakan dari kalangan pemuka agama.

Percetakan Islam mulai dikembangkan di Timur Tengah oleh Ibrahim Muteferrika (1674-1754 M). Selama lebih dari 10 tahun, Ibrahim mencoba meyakinkan Kesultanan Usmaniyah atau Turki Usmani dan para syekhnya agar tak menolak kehadiran percetakan Islam.

Ibrahim meyakinkan bahwa penggunaan mesin cetak tak berbahaya bagi budaya Islam. Menurut dia, penggunaan mesin cetak untuk menerbitkan buku dan risalah justru dapat mendorong kemajuan Kesultanan Turki Usmani dalam menghadapi kekuatan Eropa.

"Percetakan sangat bermanfaat dalam penyebaran ilmu di kalangan kaum Muslim," tutur Ibrahim dalam sebuah risalah yang ditulisnya dan dicetak pada 1726 M. Dengan hadirnya percetakan, kata dia, harga buku menjadi lebih murah, lebih mudah penyebarannya, serta lebih awet dan mudah dibaca.

Upaya Ibrahim untuk meyakinkan Kesultanan Usmaniyah dan para syekhnya itu akhirnya membuahkan hasil. "Sultan Usmaniyah mengambil langkah untuk memperkenalkan manfaat percetakan itu kepada kaum Muslimin sekaligus membersihkan naskah-naskah menyimpang yang dicetak di Eropa," ungkap Esposito.

Namun, tak semua buku bisa dicetak menggunakan mesin. Kitab Suci Alquran, hadis, dan kitab-kitab fikih tak diizinkan dicetak, tetapi harus tetap ditulis dengan tangan. Esposito berpendapat, larangan itu berdampak pada perkembangan usaha percetakan dan penerbitan Islam selama lebih dari satu abad.

Para syekh dan ulama ketika itu menganggap percetakan masih belum diperlukan. "Mereka menganggap khotbah Jumat, madrasah, dan naskah-naskah yang ditulis tangan cukup mampu melestarikan ilmu-ilmu yang dikaji dan membentuk wacana kesalehan," papar guru besar Studi Islam pada Georgetown University, Washington DC, Amerika Serikat, ini.

Sumber: Pusat Data Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement