Kamis 19 May 2011 20:05 WIB

Fikih Takziyah

Red: cr01
Ilustrasi
Foto: agusmawardi.wordpress.com
Ilustrasi

Oleh Syekh Musa’id bin Qashim Al-Falih

Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup tanpa orang lain. ia memerlukan bergaul dengan orang lain. Ini merupakan fitrah. Tidak mungkin ada yang bisa menghindarinya, terlebih lagi pada era global sekarang ini, dunia layaknya sebuah kampung kecil saja. Berhubungan dengan orang lain, meski terkadang berefek negatif, manakala berlangsung tanpa kendali, tetapi ia juga merupakan peluang yang bisa mendatangkan beragam kemaslahatan, sekaligus ladang amal untuk memproleh pahala.

Islam sangat responsif terhadap fenomena ini. Bukan sekedar komunikasi yang bertema dan berskala besar saja yang diperhatikannya, tetapi hubungan yang sangat kecil pun tak luput dari pantauannya. Ini tiada lain karena demi kemaslahatan manusia, sebagai makhluk yang berkepribadian mulia. Islam telah memberikan peraturan dalam masalah mu’amalah semacam ini, agar dalam pergaulan, manusia tidak melampui batas-batas koridor yang telah ditentukan syariat. Sehingga pergaulan tersebut tidak merugikan salah satu pihak.

Salah satu dari bentuk mu’amalah tersebut adalah takziyah. Atau biasa disebut melayat. Bagaimanakah penjelasan tentang masalah ini?

Untuk menjelaskan masalah takziyah ini, berikut kami ketengahkan ulasan yang diambil dari kitab At-Ta`ziyah, karya Syekh Musa'id bin Qashim Al-Falih, yang diterbitkan Dar Al-‘Ashimah. Semoga bermanfaat.

Definisi Takziyah

Kata “takziyah”, secara etimologis merupakan bentuk mashdar (kata benda turunan) dari kata kerja ‘aza. Maknanya sama dengan al-aza’u, yaitu sabar menghadapi musibah kehilangan.

Dalam terminologi ilmu fikih, “takziyah” didefinisikan dengan beragam redaksi, yang substansinya tidak begitu berbeda dari makna kamusnya.

Penulis kitab Radd Al-Mukhtar berkata, “Bertakziyah kepada ahlul mayyit (keluarga yang ditinggal mati) maksudnya ialah menghibur mereka supaya bisa bersabar, dan sekaligus mendoakannya.”

Imam Al-Khirasyi di dalam syarahnya menulis, “Takziyah, yaitu menghibur orang yang tertimpa musibah dengan pahala-pahala yang dijanjikan oleh Allah, sekaligus mendoakan mereka dan mayitnya.”

Imam Nawawi berkata, “Takziyah adalah memotivasi orang yang tertimpa musibah agar bisa lebih bersabar, dan menghiburnya supaya bisa melupakannya, meringankan tekanan kesedihan dan himpitan musibah yang menimpanya.”

Hukum Takziyah

Berdasarkan kesepakatan para ulama, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah, hukumnya adalah sunnah. Hal ini diperkuatkan oleh hadits Rasulullah SAW.

Di antaranya: Sabda Rasulullah, "Barangsiapa yang bertakziyah kepada orang yang tertimpa musibah, maka baginya pahala seperti pahala yang didapat orang tersebut. (HR Tirmidzi).

Dalil lainnya, Abdullah bin Amr bin Ash menceritakan, bahwa pada suatu ketika Rasulullah SAW bertanya kepada Fathimah, “Wahai Fathimah, apa yang membuatmu keluar rumah?” Fathimah menjawab,”Aku bertakziyah kepada keluarga yang ditinggal mati ini.” (HR Abu Dawud).

Hikmah Takziyah

Di samping pahala, juga terdapat kemaslahatan bagi kedua belah pihak. Antara lain meringankan beban musibah yang diderita oleh orang yang dilayat, memotivasinya untuk terus bersabar menghadapi musibah dan berharap pahala dari Allah SWT, memotivasinya untuk ridha dengan ketentuan atau qadar Allah dan menyerahkannya kepada Allah.

Selain itu, hikmah takziyah juga untuk mendoakan keluarganya agar musibah tersebut diganti oleh Allah dengan sesuatu yang lebih baik serta melarangnya berbuat niyahah (meratap), memukul, atau merobek pakaian, dan lain sebagainya akibat musibah yang menimpanya.

Sedangkan waktu takziyah, menurut jumhur ulama, diperbolehkan sebelum dan sesudah mayit dikebumikan.

Kepada Siapa Berakziyah?

Sunnahnya takziyah dilakukan kepada seluruh orang yang tertimpa musibah (ahlul mushibah), baik orang tua, anak-anak, dan apalagi orang-orang yang lemah. Lebih khusus lagi kepada orang-orang tertentu dari mereka yang merasakan kehilangan dan kesepian karena ditimpa musibah tersebut. Tetapi para ulama bersepakat, bahwa seorang lelaki tidak boleh bertakziyah kepada seorang perempuan muda, sebab bisa menimbulkan fitnah (bahaya), terkecuali mahramnya.

Takziyah kepada Orang Kafir

Ada perbedaan pendapat dalam masalah melayat kepada orang kafir dzimmi (orang kafir dalam perlindungan). Sebagian ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah memperbolehkannya. Adapun Imam Ahmad bersikap tawaqquf, beliau tidak berpendapat apa-apa dalam masalah ini.

Sedangkan para sahabat Imam Ahmad memandang takziyah sama dengan iyadah (menengok atau besuk). Dan dalam masalah ini, mereka memiliki dua pendapat: Pertama, menengok dan melayat orang kafir hukumnya terlarang atau haram. Dalil yang mereka pergunakan ialah: "Janganlah memulai salam kepada Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian berpapasan dengan salah seorang dari mereka, pepetlah ke tempat yang sempit." (HR Muslim).

Dalam hal ini, takziyah disamakan dengan memulai salam kepada mereka. Kedua, membolehkan takziyah dan menengoknya, dengan dalil hadits berikut: "Dahulu ada seorang anak Yahudi yang membantu Nabi SAW. Suatu ketika si anak ini sakit. Rasulullah menengoknya. Beliau duduk di dekat kepalanya, dan berkata, 'Masuklah ke dalam Islam.' Anak tersebut memandang bapaknya yang hadir di dekatnya. Bapaknya berkata, 'Patuhilah (perkataan) Abul Qasim!' Maka anak itu pun masuk Islam. Setelah itu Nabi SAW keluar seraya berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan anak itu dari siksa neraka." (HR Bukhari).

Pendapat yang rajih, yaitu tidak boleh melayat orang kafir dzimmi, terkecuali apabila membawa kemaslahatan—menurut dugaan yang rajih—misalnya mengharapkannya masuk Islam. Wallahua’lam.

Ucapan Waktu Takziyah

Berdasarkan pendapat para ulama dalam masalah ini, bisa disimpulkan bahwa mereka tidak membatasi dan tidak menentukan bacaan-bacaan khusus yang harus diucapkan ketika bertakziyah.

Ibnu Qudamah berpendapat, “Sepanjang yang kami ketahui, tidak ada ucapan tertentu yang khusus dalam takziyah. Namun, diriwayatkan bahwa Nabi SAW pernah melayat seseorang dan mengucapkan 'rahimakallahu wa ajaraka' (semoga Allah merahmatimu, dan memberimu pahala)." (HR Tirmidzi).

Menurut Imam Nawawi, yang paling baik untuk diucapkan ketika takziyah adalah apa yang diucapkan oleh Nabi SAW kepada salah seorang utusan yang datang kepadanya untuk memberi kabar kematian seseorang. Beliau bersabda kepada utusan itu, "Kembalilah kepadanya dan katakanlah kepadanya 'sesungguhnya adalah milik Allah apa yang Dia ambil, dan akan kembali kepada-Nya apa yang Dia berikan. Segala sesuatu yang ada disisi-Nya ada jangka waktu tertentu (ada ajalnya). Maka hendaklah engkau bersabar dan mengharap pahala dari Allah." (HR Muslim).

Menurut Mazhab Syafi’iyah, mendoaakan orang yang dilayat atau yang tertimpa musibah dengan mengucapkan, “Semoga Allah mengampuni si mayit, melipatkan pahalamu, dan memberimu pelipur yang baik.” Tetapi ada juga yang berpendapat berdoa dengan doa apa saja.

Berkumpul dan membaca Al-Qur`an ketika melayat, bukan petunjuk Nabi SAW; baik di pekuburan ataupun di tempat tidak diajarkan. Jumhur ulama melarang duduk-duduk di tempat orang yang ditinggal mati. Yang disyariatkan ialah, setelah mayat dikuburkan, sebaiknya kembali kepada kesibukan masing-masing.

sumber : Disarikan dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X/1427H
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement