Senin 27 Feb 2017 08:49 WIB

Ideologi Masjid Jogokariyan: Pelayan Bukan Penguasa!

 Masjid Jogokaryan Yogya
Foto: MasjidJogokaryan.com
Masjid Jogokaryan Yogya

Oleh Erie Sudewo*

Dibilang saleh, maunya saya sih takwa. Dibilang sabar, so pasti sohib saya protes. Dibilang baik dan penyayang, nah ini. Istri dan anak-anak saya yang bisa jawab. Termasuk yang kerja di rumah.

Sama seperti anda, saya ingin jadi penyabar, baik, dan saleh. Maka seperti soal masjid, saya termasuk pilih-pilih. Saat di rumah, saya cocok Jumatan di Masjid Jami Bintaro Jaya. Untuk dapat shaf sesuai selera, saya mesti jalan pukul 11 teng. Padahal cuma 2 km jaraknya.

Ada dua yang menarik dari Masjid Jami Bintaro. Khotib dan imamnya terpilih. Merdunya tajwid imam, selalu antar saya nikmati tiap bacaan. Khutbah Jumatnya tak 'garing'. Pesannya jadi bahan berbenah.

Lha masjid belakang rumah gimana? Astaghfirullah, ini dia. Saya pernah imbau suara speaker dikecilkan. Akibatnya saya kena persona nongrata. Karena segala sesuatu tergantung amal, kini saya kikuk Magriban atau Shubuhan di masjid rumah. “Rasain luuuh!” sindir batin saya puas.

“Bapak ibu, bada Subuh ini yang studi banding ada empat lembaga,” kata pengurus Masjid Jogokariyan buyarkan lamunan saya. Pagi itu Sabtu, 25 Februari 2017.

Ruangan Masjid Jogokariyan penuh. Saya beringsut ke tempat yang tak mudah dikenali. Saya memang curang. Suka memperhatikan tapi tak nyaman diperhatikan.

Dulu awal sujud di Masjid Jogokariyan saya kaget. Saat itu yang Tahajud pun berjamaah. Sekitar 15 orang. Yang Tahajud sendiri-sendiri ya banyak. Subuh meluber ke luar. Lantai atas kadang tak mampu tampung jamaah.

Secara fisik Masjid Jogokariyan tak istimewa. Malah tak sesuai dengan nama besarnya. Namun, justru kebersahajaan ini yang nyamankan siapa saja. Andai Jogokariyan megah, hanya masjid megah yang berani studi banding.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement