REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asep Sapaat
Perjalanan dari Maluku Tenggara menuju Jakarta pada 2009 terasa sangat bermakna. Ibu Monica Balubun, seorang pendidik dari Maluku Tenggara, berkisah tentang pergulatan hidupnya sebagai guru. Kata-katanya sarat hikmah dan menyiratkan satu pesan penting: Jadilah guru bermartabat!
Semasa menjadi guru, beliau terbiasa mengajar di tiga kelas sekaligus. Karena dulu, sekolah-sekolah di daerah tempat tinggalnya hanya memiliki dua guru saja.
Kondisi alam pula yang menuntutnya harus menggunakan sampan untuk bisa menjumpai murid di sekolah. Berpindah-pindah dari satu pulau ke pulau lain.
Di luar jam sekolah, beliau memberikan pelajaran tambahan secara gratis kepada semua muridnya. Sebagai seorang guru, Bu Monica memiliki filosofi 3M; menawan suaranya, mengundang isi perkataannya, melayani dengan kasih sayang. Meski gaji diterima enam bulan sekali, semangat mengajar dan mendidik Bu Monica tak pernah surut.
Murid adalah segalanya, segalanya untuk murid. Tak pernah ada kata pensiun menjadi guru. Setelah tak aktif mengajar, beliau tetap menjumpai murid-murid yang berkelompok dan berkeliaran di jalanan saat jam sekolah. Satu tujuannya, beliau mengajak mereka berdiskusi dan memberikan nasihat hidup kepada murid-murid tersebut.
Bu Monica berjuang membangun jalan kemartabatan dirinya sebagai guru. Beliau berujar, guru adalah pejuang rakyat yang bekerja tanpa pamrih walaupun di rumah harus bergelut dengan segala kebutuhan dan kondisi hidup yang serbasulit. Menjadi guru tak boleh didasari niat untuk sekadar mengisi lowongan pekerjaan.
Guru bukan pekerjaan main-main karena yang dihadapinya adalah anak-anak yang kelak menentukan perjalanan masa depan bangsa. Anak-anak adalah rumah masa depan kita. Rasulullah SAW bersabda, ''Sesungguhnya (nilai) pekerjaan itu tergantung pada apa yang diniatkan.'' (HR Bukhari dan Muslim).
Martabat guru diawali dari niat yang benar dan lurus. Saat seseorang berstatus guru, tak otomatis dia memiliki martabat dan kehormatan guru. Apalagi, pada zaman sekarang masyarakat punya pandangan sendiri tentang sosok guru. Karena beda zaman, beda pula caranya menghargai profesi guru.
Dulu, orang tua memberikan kepercayaan penuh kepada guru untuk mendidik anaknya. Sekarang, otoritas dan integritas guru sedang diuji karena orang tua setengah hati memercayakan pendidikan anaknya kepada guru. Bagaimana guru harus bersikap? Luruskan niat dan tujuan menjadi guru.
Jadikan profesi guru sebagai cara untuk beribadah kapada Allah SWT. Guru tak boleh gentar dengan persoalan hidup yang mendera, pun dengan pandangan sebagian masyarakat yang kian memojokkan guru.
Yang utama, berharaplah pada ridha Allah SWT agar hidup terasa damai dan penuh makna. Lalu, bekerjalah dengan penuh dedikasi dan kesungguhan. Rasulullah SAW bersabda, ''Sesungguhnya, Allah mencintai salah seorang di antara kamu yang melakukan pekerjaan dengan itqon (tekun, rapi, teliti).'' (HR Al-Baihaki).
Guru harus tetap istiqamah beramal saleh. Hanya dengan konsistensi berbuat baik dan menebar kebaikan, martabat, dan harga diri akan hadir dan melekat pada setiap diri yang mengaku guru.
Karena, sejatinya, setiap kebaikan yang guru lakukan pada orang lain maka sesungguhnya guru tersebut sedang melakukan kebaikan untuk dirinya sendiri. (QS al-Isra: 7).
Martabat guru tecermin lewat pancaran iman, ilmu, dan amal baik yang ditunjukkan dalam kehidupan di rumah, sekolah, dan masyarakat.
Alangkah baiknya seorang guru tak silau dengan pujian atau terpuruk karena hinaan. Luruskan niat, sempurnakan ikhtiar, akhirnya bertawakal pada Allah SWT. Bekerjalah untuk kehidupan dengan penuh martabat.
Firman Allah SWT, ''Dan katakanlah (Nabi Muhammad SAW): Bekerjalah kamu maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat amal kamu (itu) dan kamu akan dikembalikan kepada Yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.'' (QS at-Taubah: 105).