Jumat 23 Jan 2015 09:44 WIB

Ini Hukuman atas Penghina Nabi

Sampul terbitan terbaru Charlie Hebdo setelah penyerangan yang mematikan belasan orang di kantor media tersebut di Paris, Prancis.
Foto: Reuters
Sampul terbitan terbaru Charlie Hebdo setelah penyerangan yang mematikan belasan orang di kantor media tersebut di Paris, Prancis.

Oleh: Ali Mustafa Yaqub  

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tragedi majalah Charlie Hebdo di Paris, Prancis, Rabu, 14 Januari 2015, tampaknya tidak berhenti dengan terbunuhnya 12 orang karyawan media massa itu. Gelombang protes dan unjuk rasa terus berlanjut sampai hari ini di berbagai belahan dunia.

Inilah yang dapat kita baca dan kita saksikan dari berbagai media massa. Namun demikian, belakangan terungkap bahwa tragedi itu tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan reaksi atas perbuatan yang dilakukan oleh media Charlie Hebdo itu.

Seperti banyak diberitakan bahwa majalah Charlie Hebdo berkali-kali memuat karikatur yang melecehkan Nabi Muhammad Saw. Apa sebenarnya status hukum dan hukuman atas orang yang melecehkan Nabi Muhammad SAW?

Ulama besar Indonesia Syekh Muhammad Hasyim Asy’ari (wafat 1366 H/1947 M) dalam kitabnya al-Tanbihat al-Wajibat menukil dari imam al-Qadhi ‘Iyadh dalam kitabnya, al-Syifa, tentang kesepakatan umat Islam bahwa orang yang melecehkan Nabi Muhammad SAW hukumnya haram dan orang yang melakukannya wajib dihukum mati. Hukum dan hukuman ini diambil dari ayat-ayat Alquran maupun ijma’ para sahabat Nabi.

Di dalam Alquran terdapat ayat yang mengatakan, “Adapun orang-orang yang menyakiti Rasul Allah mereka akan mendapatkan azab yang memedihkan.” (QS at-Taubah [9]: 61). Ayat ini menunjukkan bahwa menyakiti Rasulullah SAW merupakan dosa besar dan diancam dengan azab yang sangat memedihkan.

Selain itu, dari ijma’ para sahabat, ada sebuah kisah ketika sahabat Abu Barzah al-Aslami mengatakan, “Suatu hari saya duduk di sisi khalifah Abu Bakar as-Shiddiq ra. Kemudian, beliau memarahi seseorang. Orang tadi lalu membantah keras terhadap Abu Bakar as-Shiddiq.

Maka kemudian, saya berkata kepada khalifah Abu Bakar, ‘Wahai pengganti Rasulullah, biarlah aku bunuh orang itu.’ Abu bakar kemudian berkata, ‘Jangan! Tetaplah kamu duduk! Karena membunuh orang yang melakukan perbuatan seperti itu tidak boleh, kecuali atas orang yang melecehkan Rasulullah SAW.”

Menurut al-Qadhi Abu Muhammad bin Nashar, tidak ada seorang pun sahabat Nabi yang membantah pendapat khalifah Abu Bakar ini. Maka, hal itu menjadi sebuah ijma’ (konsensus para sahabat) yang dipakai sebagai dalil oleh para imam untuk menghukum mati orang yang menyakiti hati Nabi Muhammad SAW dengan segala macam cara.

Al-Qadhi ‘Iyadh juga menuturkan bahwa di samping berdasarkan ijma’, hukuman atas orang yang menghina Nabi Muhammad SAW juga berdasarkan qiyas. Karena perbuatan menyakiti hati Rasulullah SAW atau mengurangi derajatnya menunjukkan bahwa pelakunya merupakan orang yang sakit hatinya dan sekaligus termasuk bukti keburukan niat dan kekafirannya.

Itulah hukum dan hukuman atas orang yang melecehkan Nabi Muhammad SAW, baik melalui cacian, tulisan, maupun karikatur. Namun demikian, umat Islam tidak dibenarkan untuk main hakim sendiri. Dalam menjalankan amar makruf nahi mungkar, para ulama baik klasik maupun kontemporer, seperti imam al-Ghazali (wafat 505 H) dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din, Imam Ibnu Taimiyah (wafat 728 H) dalam kumpulan fatwanya, dan Prof Abdul Karim Zaidan dalam kitabnya Ushul al-Da’wah, bersepakat bahwa dalam menegakkan amar makruf nahi mungkar hal-hal yang berkaitan dengan sangsi dan hukuman menjadi wewenang pemerintah. Oleh karenanya, tindakan main hakim sendiri tidak dapat dibenarkan menurut ajaran Islam.

Pelecehan terhadap seorang Nabi atau terhadap suatu agama haruslah diselesaikan melalui jalur hukum di negara tempat peristiwa itu terjadi. Maka, kasus Charlie Hebdo harus diselesaikan melalui proses hukum di negara Prancis. Demikian pula, pelecehan-pelecehan di setiap tempat di dunia ini, termasuk di Indonesia, harus diselesaikan melalui hukum yang berlaku di negara setempat. Pelecehan terhadap suatu agama yang tidak dijerat dengan hukum, justru akan menjadi sebab munculnya radikalisme baru. Wallahul muwaffiq.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement