REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hasan Basri Tanjung
“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?“ (QS.76:1)
Surat al-Insan atau ad-Dahr adalah surat yang ke-76 dari urutan surat dalam al-Qur’an yang diawali dengan pertanyaan menarik tentang awal kehidupan manusia. Judul tulisan ini pun diambil dari ujung ayat pertama, yakni lam yakun syaian madzkuuraa (belum merupakan sesuatu yang patut disebut).
Manusia pernah melalui suatu masa, di mana ia belum patut disebut (QS.76:1). Prof. Dr. Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menjelaskan penciptaan Nabi Adam as. selama 40 tahun tubuh berbentuk tanah tergelimpang belum bernyawa di antara Makkah dan Thaif.
Kemudian ditempa menjadi tanah liat yang kering (hamain masnun) selama 40 tahun. Lalu dijadikan kering seperti tembikar (shalshalin) selama 40 tahun pula. Barulah setelah 120 tahun ditiupkan roh.
Kemudian baru disebut sebagai seseorang, ketika Tuhan hendak menjadikannya khalifah (QS.2:30) dan sanggup memikul amanah (QS.33:72).
Siapa yang patut disebut atau dipanggil namanya baik di dunia maupun kelak di akhirat ? Beranjak dari surat al-Insan ayat 3-5 di atas, ada dua golongan manusia yang akan disebut oleh Allah SWT. yakni :
Pertama, syaakiran (orang yang bersyukur). Orang yang sadar akan karunia Allah SWT yang diterimanya, yang semula ia tidak patut disebut lalu sekarang menjadi seseorang dengan berbagai kelengkapan yang sempurna, maka ia bersyukur.
Orang yang bersyukur itulah yang telah mengoptimalkan segala potensi dirinya dan mendayagunakannya untuk memajukan hidup manusia. Merekalah orang-orang yang berani menjadi pemimpim umat (khalifah) dan berani memikul amanah berat penuh resiko demi kemaslahatan umat manusia.
Orang yang bersyukur ditulis namanya dengan tinta emas dan menjadi kenangan dan teladan sepanjang masa, yakni para Nabi dan Rasul, Syuhada dan Shalihin (QS.4:69).
Mereka disebut sebagai al-abraar (orang-orang yang melakukan kebajikan) (QS.76:5). Kita ingin disebut karena kebaikan bukan karena keburukan yang dilakukan.
Orang-orang baik senantiasa berbuat baik meski tak berbalas kebaikan bahkan dibalas dengan keburukan sekalipun (QS.3:134).
Mereka mampu memberi sesuatu yang disukainya (bukan sisa) kepada orang-orang yang kelaparan, meski ia tidak mendapat balasan walau hanya ucapan terima kasih.
Ia melakukannya semata-mata mengharap ridha Allah SWT. (QS.76:9). Namanya diangkat dari al-abrar menjadi ‘ibadullah (hamba Allah) dan kelak mereka dipanggil mesra sebagai ‘Ibadii (hamba-hamba-Ku) (QS.89:27-30).
Kedua, kafuuran (orang yang kufur). Ada pula orang yang lupa berterima kasih atau membalas jasa, maka ia mengingkari karunia itu atau tidak memaksimalkan potensi dan bakat yang telah dianugerahkan lalu memilih jalan yang sesat.
Mereka tak pandai bersyukur atas karunia baik kepada Allah SWT maupun kepada manusia yang menolongnya.
Bahkan, dengan karunia ilmu, kekayaan dan kedudukan yang diraih, justru mengantarkan mereka menjadi manusia sombong, dzalim, bakhil dan menentang Allah SWT. maka tercatatlah nama-nama orang-orang kufur dalam sejarah seperti Fir’aun yang mengaku tuhan (QS.79:19-25), Qarun dan Haman (QS.40:24), Namrudz (QS.2:258).
Mereka sebenarnya tidak penting dan tidak patut disebut, kecuali hanya mengingatkan manusia akan siksa yang ditimpakan kepada mereka dan menjadi peringatan bagi manusia sesudahnya. Allahu a’lam bish-shawab.