Rabu 04 Jul 2012 14:50 WIB

Sakralitas Lembaga Perkawinan

Lembaga perkawinan (ilustrasi).
Foto: Wordpress.com
Lembaga perkawinan (ilustrasi).

Oleh: M Fuad Nasar

Gerakan feminisme yang beriringan dengan isu hak asasi manusia (HAM) belakangan ini mulai menyentuh lembaga perkawinan dan tatanan keluarga.

Sejumlah isu yang mewarnai kerangka pemikiran RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) menjadi polemik karena menyangkut norma-norma yang dipandang baku dalam agama.

Dalam bingkai nilai dasar Islam, keadilan dan kesetaraan gender tidak hanya menyangkut hak-hak perempuan semata, tapi juga kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan oleh perempuan (QS. An-Nahl: 97).

Bisa dibayangkan implikasinya terhadap wibawa lembaga perkawinan ketika isu kesetaraan gender digunakan untuk menggugat beberapa norma dalam hukum perkawinan, seperti hak menjadi wali nikah, mahar, saksi akad nikah, faktor agama dalam perkawinan, tanggung jawab kepala keluarga, dan lain-lain.

Sudah cukuplah wibawa lembaga perkawinan terusik dengan angka perceraian yang melonjak tajam belakangan ini dan sebagian besar gugat cerai oleh perempuan (istri) yang secara finansial tidak lagi bergantung pada suami.

Menurut Prof Dr HA Mukti Ali, seorang perempuan yang berhasil mencapai kedudukan tinggi dan terhormat di masyarakat, dalam menjalankan tugasnya itu haruslah ingat dan sadar bahwa dia tetap seorang ibu yang bertanggung jawab terhadap keluarganya. Perjuangan emansipasi bukan berarti melepaskan perempuan dari tanggungjawab dan kewajiban rumah tangga. Mereka harus mencari sintesis dan harmoni antara peran domestik dan peran publik.

Wibawa lembaga perkawinan wajib dijunjung tinggi sesuai dengan Ketuhanan yang Maha Esa yang menjadi dasar negara kita. Seseorang tidak boleh bermain-main dengan perkawinan yang tidak diakui agama dan negara. Karena, hukum agama tidak membolehkan perkawinan beda agama dan perkawinan pasangan sejenis (gay dan lesbi).

Sejalan dengan itu, kesadaran dan kepedulian masyarakat Muslim terhadap arti penting pernikahan menurut hukum syariat Islam dan perundang-undangan negara perlu diperkuat. Untuk itu, sosialisasi dan edukasi mengenai hukum munakahat dan UU No. 1/1974 tentang Perkawinan serta Kemudahan Pelayanan Administrasi pernikahan perlu dilakukan terus-menerus serta menjangkau semua lapisan masyarakat.

Sungguh ironis jika ada umat beragama dan warga negara Indonesia yang secara sadar dan sengaja hidup bersama tanpa ikatan perkawinan yang sah menurut syariat dan negara. Hidup bersama tanpa menikah yang dilakukan karena kemiskinan atau sebagai gaya hidup adalah penyakit masyarakat dan pelanggaran hukum yang harus dicegah dan dihilangkan.

Jika perkawinan sesuai syariat dan diakui negara, kewajiban suami-istri dan peran masyarakat adalah menjaga kesucian diri, mempertahankan keutuhan rumah tangga, serta mengupayakan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin sesuai dengan tujuan luhur perkawinan.

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barangsiapa melaksanakan perkawinan, ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Maka, hendaklah ia bertakwa kepada Allah untuk separuhnya lagi.” (HR. Baihaqi). Wallahua'lam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement