Ahad 10 Dec 2017 06:26 WIB

Bolehkah Bercumbu Saat Datang Bulan?

Rep: A Syalaby Ichsan/ Red: Agung Sasongko
Wanita haid (ilustrasi).
Foto: Republika/Musiron/ca
Wanita haid (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Haid yang dalam istilah populer disebut dengan datang bulan adalah kodrat setiap perempuan balig. Haid menjadi siklus bulanan yang memberikan perempuan bermacam konsekuensi. Salah satunya, berjima' atau berhubungan intim bagi mereka yang sudah memiliki suami.

Keharamannya sudah dituliskan dalam Alquran. "Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. (QS al-Baqarah:222).

Meski demikian, apakah tidak ada toleransi bagi para suami yang sedang berhasrat saat istrinya sedang menstruasi? Dalam salah satu kajiannya, Ketua Umum Yayasan Ats Tsabat Jakarta Timur Ustaz Khalid Basalamah menjelaskan, sperma seperti api. Saat tidak ditumpahkan, akan timbul ke kemarahan. Karena itu, ujar Ustaz Khalid, masalah biologis bagi kaum lelaki tidak bisa ditunda.

Karena itu, Rasulullah SAW pun mengajarkan kepada para istri untuk mendatangi suaminya saat diajak berhubungan intim. "Apabila seorang suami mengajak istrinya untuk berkumpul hendaknya wanita itu mendatanginya sekalipun dia berada di dapur." (HR. Tirmidzi). Bagaimana jika istri dalam keadaan haid?  Ustaz Khalid mengungkapkan, Islam ternyata memberi solusi agar suami bisa mencumbui istrinya kecuali di tempat keluarnya darah haid. Ini pun sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah RA. "Jika salah satu dari kami (isteri Nabi) ada yang haid, dan Rasulullah SAW ingin mencumbuinya, beliau menyuruh istrinya yang haid itu untuk memakai kain sarung, kemudian beliau mencumbuinya." (HR. Bukhari).

Dalam hadis lain yang diriwayatkan Anas RA, Rasulullah SAW sempat ditanya tentang hukum mencumbu perempuan haid. Ini dibandingkan orang Yahudi yang sampai-sampai tidak memberi makan kepada perempuan haid. ".. Rasulullah SAW bersabda, "Lakukan segala yang kau mau kecuali nikah (hubungan badan)." (HR Muslim).

Pengasuh konsultasi Annisa dari Rumah Fiqih Ustazah Aini Aryani menjelaskan, batasan mengenai larangan hubungan badan yang disepakati para ulama di atas adalah apabila terjadi jima' dalam arti yang sesungguhnya, yakni terjadinya dukhul atau penetrasi. Mereka juga membolehkan percumbuan yang dilakukan dengan istrinya di anggota tubuh selain yang ada di antara pusar dan lutut istri.

Ustazah Aini pun melanjutkan, empat imam mazhab pun memberi beragam pandangan saat percumbuan dilakukan di antara pusar dan lutut atau tidak terjadi jima. Madzhab Hanafi membolehkan seorang suami untuk mencumbui anggota tubuh istrinya yang ada di antara lutut dan pusarnya. Dengan syarat, percumbuan itu terjadi dengan adanya penghalang, seperti sarung, kain, atau sejenisnya. Namun, suami tidak boleh melihat bagian-bagian tersebut.

Suami boleh memegang bagian-bagian itu, dengan atau tanpa syahwat, selama bagian-bagian itu ditutupi dengan penghalang. Intinya tidak terjadi sentuhan kulit secara langsung dan tidak boleh melihat.

Sementara, Mazhab Maliki berbeda dengan mazhab Hanafi. Fuqaha' dalam mazhab Maliki mengatakan, seorang suami dilarang memegang dan mencumbui anggota tubuh istri yang ada di antara lutut dan pusarnya pada saat istrinya itu sedang mengalami haid, walaupun itu dibatasi dengan kain penghalang. Namun, mereka membolehkannya untuk melihat bagian-bagian tersebut walaupun dengan syahwat.

Madzhab ini berpendapat, suami hanya boleh melihat atau memandang bagian-bagian yang ada di antara pusar dan lutut istrinya itu, tanpa boleh mencumbuinya lebih jauh[3].

Madzhab Syafi'i berpendapat, suaminya boleh mencumbuinya itu di bagian mana saja yang diinginkan. Hanya, percumbuan itu harus dibatasi dengan kain penghalang, sehingga tidak ada sentuhan kulit secara langsung. Madzhab ini juga membolehkan suami untuk melihat dan memandang bagian-bagian itu, dengan atau tanpa syahwat.

Dalam madzhab syafi'i, seorang suami boleh mencumbui istrinya yang sedang haid di bagian-bagian yang ada di antara pusar dan lutut dalam batasan: boleh melihatnya dan boleh mencumbu dengan adanya penghalang, sehingga tidak terjadi sentuhan kulit secara langsung.

Mazhab Hanbali agak berbeda dengan ketiga mazhab di atas. Mazhab Hanbali membolehkan suami mencumbui istrinya yang sedang haid di bagian mana pun yang ia inginkan. Syaratnya tidak sampai terjadi jima' yang sesungguhnya, yakni dukhul (penetrasi). Seorang suami boleh mencumbui istrinya di bagian-bagian yang ada di antara pusar dan lutut, kecuali organ intim, baik itu dengan melihat ataupun menyentuh, dengan atau tanpa penghalang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement