Selasa 26 Jul 2016 20:48 WIB

Apakah Sebenarnya Fatwa itu?

Rep: Damanhuri Zuhri/ Red: Agung Sasongko
Ketua Umum MUI Ma’ruf Amin (tengah) didampingi Wakil Sekjend MUI Amirsyah Tambunan (kiri) dan Ketua MUI Basri Bermanda (kanan) serta jajaran pengurus Ormas Islam memperlihatkan rumusan fatwa MUI terkait LGBT di Jakarta, Rabu (17/2).
Foto: Republika/Darmawan
Ketua Umum MUI Ma’ruf Amin (tengah) didampingi Wakil Sekjend MUI Amirsyah Tambunan (kiri) dan Ketua MUI Basri Bermanda (kanan) serta jajaran pengurus Ormas Islam memperlihatkan rumusan fatwa MUI terkait LGBT di Jakarta, Rabu (17/2).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sejak Islam berkembang ke hampir seluruh pelosok dunia, kebutuhan umat terhadap fatwa terus meningkat. Terlebih, lompatan perkembangan zaman kerap menghadirkan persoalan-persoalan di tengah umat. Hal itu kerap membuat umat merasa bingung dan mengundang tanya, ''Bolehkan ini menurut hukum Islam?'' 

Berbagai pertanyaan umat atas berbagai masalah itu, biasanya disampaikan kepada para ulama atau tokoh agama yang berkompeten. Sesungguhnya,  umat membutuhkan fatwa untuk mengetahui persoalan atau masalah yang ada di sekitarnya itu apakah sesuatu yang wajib, mustahab, makruh, haram atau mubah?

Lantas, apakah sebenarnya fatwa itu? Menurut Ketua Komisi Fatwa MUI, KH Anwar Ibrahim, fatwa merupakan jawaban atas pertanyaan seseorang yang ingin mendapatkan kejelasan hukum mengenai suatu persoalan. 

''Sesuai dengan arti fatwa itu jawaban atas pertanyaan. Orang bertanya kita menjawab, Itu yang namanya fatwa. Tetapi tidak semua orang memberikan fatwa seperti yang dikatakan Imam Suyuti bahwa fatwa itu adalah kasus-kasus yang kadang-kadang pertanyaannya mendadak dan yang memberi jawaban yaitu mufti itu haruslah mempunyai pengetahuan yang luas,''  tutur Kiai  Anwar .

Menurut dia, fatwa biasanya berupa jawaban yang singkat dan tidak disertai banyak dalil. Karena tujuannya adalah untuk memberikan penjelasan kepada penanya supaya dia dapat langsung melaksanakan ajaran Islam.  Lantas, siapa sebenarnya yang berhak menetapkan fatwa itu? Kiai Anwar, mengungkapkan, yang berhak menetapkan sebuah fatwa adalah ulama tertentu yang memiliki beberapa syarat.

''Selain menguasai bahasa Arab dan memahami dasar-dasar hukum Islam seperti Alquran,  Hadis dan ijma' ulama, seseorang yang berhak menetapkan fatwa juga harus menguasai metode pengambilan hukum dari Alquran dan Hadis,'' ujar  Kiai Anwar.

Guru Besar Bidang Hukum Islam pada Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,  Prof Dr Huzaimah T Yanggo,  malah menetapkan syarat yang banyak bagi seseorang yang ingin menetapkan sebuah fatwa. Menurut dia, yang berhak menetapkan fatwa yaitu ulama yang ahli dalam bidangnya.

''Syaratnya, bisa ijtihad, memahami Alquran, Hadis, serta aqwalu ulama. Kalau mau memfatwakan sesuatu  yang belum ada hukumnya di dalam Alquran dan Hadis, tentu harus melalui ijtihad,'' ungkap Prof Huzaimah. Menurut dia, jangan sampai, fatwa dikeluarkan oleh orang yang membaca Alqurannya saja tak lancar.

Prof Huzaimah menuturkan,  seorang yang  boleh mengeluarkan fatwa, minimal harus tahu ayat hukum, hadis hukum,  hafal Alquran. ''Jika tak hafal, misalnya,  dia harus menguasai  tafsirnya. Dia harus tahu bahasa Arab, tahu juga seperti ada kebanyakan balaghahnya, ma'ani, bayan, dan majaz. Itu harus tahu semua.''

Ulama terkemuka di dunia, Syekh Yusuf al-Qaradhawi, mengungkapkan, tugas memberi fatwa merupakan kedudukan yang agung. Menurutnya, seorang pemberi fatwa merupakan penerus Nabi Muhammad SAW untuk menjelaskan perkara yang halam dan haram dalam bertindak, yang sahih dan fasid (rusak) dalam bermuamalah, yang makbul (diterima) dan yang mardud (ditolak) dalam masalah ibadah, serta yang hak dan bathil dalam itikad.

''Kita seharusnya merasa sedih dan prihatin, karena pada masa sekarang fatwa dianggap sebagai persoalan yang sangat ringan,'' paparnya. Sebab, kata dia, ada di antara orang yang sebenarnya tidak mengetahui seluk-beluk tentang fikih berani menetapkan fatwa. Masalah ini, sempat menjadi pembahasan para ulama se-dunia dalam forum Liga Muslim Dunia (MWL).

Ketua MUI, KH Ma'ruf Amin, mengatakan, yang berhak menetapkan fatwa di Indonesia adalah majelis ulama yang dihadiri komisi fatwa, para ulama pesantren,  ulama dari berbagai organisasi masyarakat (ormas) dan perguruan tinggi.

Lantas apakah sebuah fatwa itu wajib diikuti?  Prof Huzaimah, menegaskan,  seorang Muslim wajib mengikuti fatwa yang telah ditetapkan.  ''Konsekuensinya, kalau yang mengandung dosa maka dia berdosa kalau tidak mengikuti. Karena fatwa tergantung apakah itu membahayakan jiwa seseorang dan tergantung masalahnya,'' paparnya.

Ia mencontohkan,  seandainya ulama telah menetapkan sesuatu itu haram, karena berbahaya bagi kesehatan, maka umat akan rugi sendiri jika tak mematuhi fatwa itu. ''Terlebih, jika sebuah masalah itu dinyatakan haram hukumnya.  Maka,  kalau haram akan berdosa bila dilakukan.''

Kiai Ma'ruf juga menegaskan,  jika sebuah fatwa telah menjadi menjadi pendapat hukum, ittifaq, para ulama, maka seharusnya diikuti oleh umat. ''Kalau umat tidak mau mengikuti lantas dia mau mengikuti siapa?'' Kecuali, kata dia,  fatwa perorangan (fatwa fardiyah).

''Si A, si B masing-masing mengeluarkan fatwa memang itu tidak mengikat. Tetapi kalau fatwa itu sudah menjadi kesepakatan (ittifaq) ulama, ya, harus diikuti,'' ujarnya menegaskan.  Lalu bagaimana jika ada perbedaan fatwa terhadap sebuah masalah? Ketika ada dua Ormas Islam yang menetapkan fatwa yang berbeda, maka masyarakat dipersilakan untuk memilih fatwa yang diyakininya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement