Senin 14 May 2018 16:47 WIB

Jejak Islam di Honduras

Muslim di Honduras kerap menyebut diri mereka dengan istilah Almamys.

Peta Honduras, ilustrasi
Peta Honduras, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Kawasan Amerika Tengah sejak lama telah menjadi tujuan para imigran asal Timur Tengah. Beragam alasan kedatangan mereka ke sini. Misalnya, sikap toleran dari penduduk lokal dan terbukanya kesempatan memperbaiki taraf kehidupan.

Selain itu, alasan imigran asal Timur Tengah dan Afrika datang karena persoalan dalam negeri yang menimpa mereka. Maka itu, tak mengherankan jika kemudian dikatakan bahwa Amerika Tengah bagaikan negara kedua bagi para imigran tersebut.

Sejarah mencatat, imigran Arab dan Afrika adalah yang pertama datang ke Amerika jauh sebelum Christopher Columbus yang menemukan benua itu. Mereka adalah umat Muslim yang menghindari represi dari kaum Nasrani setelah jatuhnya Andalusia (Spanyol).

Setelah itu, semakin deras arus kehadiran imigran asal Arab pada abad ke-19 dan ke-20. Alasan mereka karena adanya gejolak yang terjadi Tanah Arab, khususnya Palestina dan Afghanistan.

photo
Peta Honduras, ilustrasi

Salah satu negara yang menjadi tujuan para imigran itu adalah Honduras. Negara yang bertetangga dengan Guatemala, El Savador, dan Nikaragua ini dikenal sebagai ‘Republik Pisang’. Sebab, Honduras dikenal sebagai penghasil pisang terbesar di dunia.

Selain pisang, komoditas utama di bidang perkebunan adalah kopi. Selain sektor pertanian dan perkebunan, Pemerintah Honduras juga gencar mendorong sektor perdagangan dan industri.

Mereka ingin keluar dari jerat kemiskinan. Honduras tercatat masuk kategori negara dengan penghasilan menengah ke bawah. Oleh karena itu, pembangunan di segala bidang merupakan keharusan demi mencapai kesejahteraan. Menjadi tanggung jawab segenap elemen bangsa untuk turut berpartisipasi mewujudkan tujuan bersama tadi.

Termasuk, para imigran asal Timur Tengah. Honduras mulai menerima kehadiran gelombang imigran Arab sekitar tahun 1896 hingga 1918. Sebagian besar imigran itu adalah warga keturunan Arab asal Palestina.

photo
Imigran Palestina di Amerika

Secara demografi, kebanyakan merupakan kaum Nasrani, namun terdapat pula umat beragama Islam. Namun, mereka bisa cepat berbaur dengan warga lokal serta mulai menjalani kehidupan baru.

Di Honduras, para imigran Arab itu menjalankan berbagai aktivitas. Ada yang menjadi politisi atau pegawai pemerintahan, tetapi paling banyak terjun di dunia bisnis dan perdagangan. Diperkirakan, jumlah mereka mencapai 100 hingga 200 ribu jiwa dari tujuh juta populasi penduduk.

Honduras pun tercatat sebagai negara dengan jumlah imigran Arab Palestina terbesar di kawasan sejajar dengan Amerika Serikat, Kanada, dan Cile.

Jumlah imigran Arab Muslim sekitar 2.790 jiwa atau 0,04 persen dari populasi. Kendati tidak signifikan dari segi kuantitas, kehadiran mereka cukup memberikan kontribusi dalam pembangunan bidang sosial, ekonomi, politik, ataupun keagamaan.

Sejak tahun 1984, umat Muslim memiliki wadah organisasi. Namanya Centro Islamico de Honduras yang berkedudukan di Kota San Pedro Sula, pimpinan Yusuf Amdani. Lainnya adalah Comunidad Islamica de Honduras di Cortez. Organisasi keagamaan ini semakin mempercepat akselerasi umat Muslim pada kegiatan-kegiatan kemasyarakatan dan keumatan.

photo
Masjid San Paula, Honduras

Tujuan utamanya mendorong kesejahteraan di kalangan imigran Arab dan Muslim. Sejumlah masjid didirikan. Organisasi juga menggiatkan aktivitas keagamaan. Antara lain, kajian dan pembelajaran Alquran, diskusi agama dan isu keumatan, pendidikan agama untuk anak-anak, bahasa Arab, serta pembinaan sosial lainnya.

Dalam artikel bertajuk A Century of Palestinian Immigration Into Central America, Roberto Marin Guzman mengatakan, ada kemungkinan bertambahnya jumlah imigran Arab Muslim di negara itu kendati tidak diketahui angka pastinya. Mereka membentuk komunitas-komunitas Muslim di beberapa kota besar, khususnya yang berada di kawasan utara.

Sentra pertumbuhan sejatinya bermula di utara. Banyak dibukanya perkebunan pisang melambangkan transformasi pembangunan sejak abad ke-19. Potensi besar ini pada akhirnya menarik perhatian para pelaku industri pertanian, pedagang, ataupun pekerja. Imigran Arab Muslim ikut berkontribusi dalam setiap tahapan perkembangan di sana.

Mereka mengawali dengan pembukaan sejumlah perusahaan. Sebagian lagi terjun langsung membuka perkebunan pisang atau menjadi pekerja di perkebunan. Komunitas imigran Arab dan Muslim menempati distrik La Lima, El Progreso, dan Puerto Cortez.

Kehidupan mereka sangat sederhana. Tiada kemewahan dalam soal materi, seperti rumah, pakaian, ataupun perhiasan. Ketika pergi dari satu desa ke desa lain untuk menjual hasil perkebunan, mereka memilih tinggal di penginapan sederhana atau rumah-rumah penduduk. Faktor inilah yang menciptakan kedekatan dengan warga lokal.

Jaga tradisi

Para imigran ini tidak serta-merta menanggalkan identitas tradisi dan budaya negara asal. Sebaliknya, mereka menjaga baik-baik praktik tradisi nenek moyang. Ini bisa ditilik dari bentuk rumah yang bergaya Timur Tengah atau sejumlah komoditas dagang yang merupakan ciri khas produk asal Timur Tengah, misalnya minyak wangi, obat tradisional Arab, dan banyak lagi.

Di samping itu, para imigran tetap memperhatikan perkembangan yang terjadi di Palestina. Secara regular, mereka membaca koran-koran dari Palestina. Beberapa pengusaha rutin membantu perjuangan saudara sebangsa dalam memperoleh hak-hak mereka. Mereka juga sudah terbiasa melaksanakan shalat jenazah untuk mengenang para syuhada Palestina.

Kaum imigran Arab semakin mendapat pengakuan di masyarakat. Seperti diungkapkan Roberto Marin, tak hanya kontribusi di sektor perekonomian, mereka juga melaksanakan program-program sosial dan pendidikan. Salah satunya dapat dilihat melalui sekolah yang didirikan di pinggir Kota San Pedro Sula. Sekolah ini menampung sekitar 300-an anak-anak kurang mampu di wilayah tersebut.

Umat Muslim juga memanfaatkan masjid di kawasan Colonia Prado Alto untuk menggelar berbagai aktivitas sosial keagamaan. Menurut penjelasan pimpinan Fundacion Islamica de Honduras, Abd el Jawad Abd el Fatah, masjid ini didirikan sekitar empat tahun lalu dan kerap dihadiri imigran Muslim dari Timur Tengah, Afrika, Indonesia, dan sebagainya.

Salah seorang tokoh Muslim Honduras, Selim Canahuati, menyatakan, umat Muslim Honduras berkomitmen menjaga tradisi tanah leluhur sekaligus berpegang pada nilai-nilai agama. Hal itu tidak terjadi dalam waktu singkat, namun telah melalui proses panjang. Sehingga, ia pun meyakini nilai Islam akan tetap terjaga dan menjadi landasan dalam kehidupan umat sehari-hari di negara tersebut.

Sejarah dunia kerap mengagungkan nama Christopher Columbus sebagai orang pertama yang menemukan Benua Amerika. Akan tetapi, beberapa sumber kesejarahan merekam kehadiran umat Islam dari Timur Tengah dan Afrika yang telah berlangsung sejak berabad silam ke wilayah tersebut.

Adalah putra Columbus sendiri, yang bernama Ferdinand, mengungkapkan temuan ayahnya ketika sampai di wilayah utara dan timur Honduras. Kala itu, sang penjelajah asal Spanyol menyaksikan keberadaan orang-orang hitam asal Afrika. Mereka kerap disebut sebagai orang Jaras dan Guabas. Nama ini kemungkinan memiliki kaitan dengan nama sebuah kota di Ghana, yakni Jarra.

Kata Guabas, menurut sejumlah sejarawan, bisa dikaitkan dengan kata Ka’bah atau Kubba, yang notabene merupakan kiblat umat Muslim yang terletak di Tanah Suci Makkah. Karena itu, sangat beralasan bila penduduk asal Afrika itu adalah pendatang dari Mali yang sudah memeluk agama Islam. Mereka datang setelah kejatuhan Andalusia (Spanyol).

Beberapa komunitas Muslim di Honduras pada abad ke-16 dan ke-17 kerap menyebut diri mereka dengan istilah Almamys. Ini merujuk pada tempat asal mereka dari Spanyol. Mereka tampaknya juga memiliki kaitan erat dengan penduduk Muslim asal Afrika yang ditemui Columbus di kawasan utara dan timur.

Sejarawan Giles Cauvet dalam Les Berberes de l'Amerique melakukan studi perbandingan etnografi antara pendatang dari Afrika, Timur Tengah, dan warga asli Amerika. Menurutnya, komunitas yang menamakan diri sebagai Almamys hanya sedikit menjalin kontak dengan ekspedisi Columbus. Istilah itu sendiri dapat ditemukan pada literatur-literatur Islam kuno dari abad ke-12.

Bila merujuk pada bahasa Mandinka Mali kuno, istilah tadi memiliki pertautan dengan kata al Immamu yang berarti seorang imam atau pemimpin,” tandas Giles Cauvet lagi.

Demikian pula buku terkenal berjudul Nuzhat al-Musthaq fi Isthiraq al-Afaq karya sejarawan Muslim terkemuka al Idrisi pada abad ke-12 yang menceritakan perjalanan laut satu kelompok umat Islam berjumlah delapan orang. Mereka berlayar dari Afrika Utara dan singgah di Lisbon, Portugal.

Setelah menempuh perjalanan selama 31 hari, akhirnya mereka sampai di wilayah yang diyakini sebagai Kepulauan Karibia. Selanjutnya, mereka mengembara kembali sebelum sampai ke wilayah Amerika Tengah.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement