REPUBLIKA.CO.ID,BALI -- Gelaran Silaturahmi Nasional (Silaknas) ICMI di Bali pada 6 Desember 2025 menjadi momentum penting lahirnya sebuah karya yang memantik diskusi luas: buku Teknologi Tanpa Tuhan karya Dr Ismail Rumadan. Buku ini diperkenalkan dalam acara peluncuran dan bedah buku yang berlangsung dinamis dan penuh refleksi, menghadirkan kritik tajam terhadap arah perkembangan teknologi modern.
“Kita terlalu cepat menciptakan mesin cerdas, tapi terlalu lambat membentuk manusia yang bijak,” ujar Ismail dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Senin (8/12/2025).
Kalimat itu menjadi nada dasar dari keseluruhan isi buku yang dinilainya lahir dari kegelisahan mendalam melihat ketimpangan antara laju teknologi dan perkembangan nilai-nilai spiritual.
Ismail Rumadan, yang saat ini menjabat sebagai Ketua Umum Pemuda ICMI sekaligus peneliti BRIN dan akademisi hukum, mengatakan bahwa masyarakat hari ini sedang berlari dalam euforia teknologi tanpa arah moral yang jelas.
"Kita telah membangun AI yang bisa menulis puisi dan menggantikan guru, tapi tak lagi mampu membedakan mana yang benar dan mana yang sekadar viral. Ini bukan kemajuan, ini kehilangan arah,” ucapnya.
Judul buku "Teknologi Tanpa Tuhan", menurutnya, sengaja dipilih untuk menggugah, bukan mengaburkan. Tujuannya adalah mengajak masyarakat mengkaji apakah peradaban digital benar-benar membawa manusia menuju kemajuan.
Bedah buku ini menghadirkan dua pembahas, yaitu Wakil Dekan FISIP UPN Veteran Jakarta Asep Kamaludin dan Ketua Pemuda ICMI Wilayah Bali, Muhammad Zainal Abidin.
Dalam pemaparannya, Asep menggambarkan buku tersebut sebagai pengalaman “membaca Al-Ghazali di era algoritma”. Menurutnya, buku ini mengajak pembacanya kembali menengok hubungan paling mendasar manusia, yakni konektivitas spiritual dengan Tuhan.
“Dalam kondisi apa pun, jangan sampai manusia kehilangan kontak dengan Sang Pencipta,” ujar Asep.
Sementara itu, Zainal Abidin menyebut karya ini sebagai “bom intelektual” yang sengaja dirancang untuk mengguncang zona nyaman berpikir. Judulnya memang provokatif, katanya, namun ketika dipahami secara utuh, buku ini justru mengingatkan bahwa manusia hari ini cepat dalam berinovasi teknologi, tetapi lambat dalam pembangunan spiritual.
"Buku ini menegaskan bahwa ilmu dan agama adalah sekutu abadi, dan sejatinya, ilmu akan membawa manusia mengenal sang Pemilik Ilmu, yaitu Tuhan," ucapnya.
Buku ini bukan sekadar tumpukan narasi akademik. Ia adalah manifesto spiritual bagi era digital, yang membumikan warisan pemikiran B.J. Habibie tentang keseimbangan IMTAQ dan IMTEK. Bahwa ilmu dan iman bukanlah dua jalan yang berseberangan, tapi dua sayap peradaban. Dan jika salah satunya patah, maka umat ini tidak akan pernah benar-benar terbang.
Peluncuran buku ini disambut hangat oleh peserta Silaknas. Ruangan penuh oleh mahasiswa, aktivis organisasi kepemudaan Islam, serta kader Pemuda ICMI dari berbagai wilayah di Bali. Diskusi berlangsung hidup, penuh tanya kritis dan kontemplasi tentang arah peradaban digital.




