REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Manusia memiliki sifat malu yang dapat menggerakkan nalurinya, menilai mana yang benar dan salah. Dengan rasa malu itu, setiap manusia berjalan di atas ketetapan fitrah dari Rabbnya.
Rasulullah SAW bersabda, "Jika kamu tak punya rasa malu, maka berbuatlah sesukamu." Beliau shalallahu 'alaihi wasallam juga mengatakan, salah satu dari bagian iman adalah sifat malu.
Jika manusia dibekali malu untuk hidup, lain halnya dengan binatang. Allah memberikan nikmat kepada binatang sesuai dengan kebutuhannya. Hewan hanya memiliki insting yang dipadu dengan nafsu untuk hidup. Ia tak butuh malu karena memang Allah tidak memberikan sifat itu. Begitulah Allah telah mengatur seluruh hamba-Nya dalam menjalani hidup di alam fana ini.
Malu dapat menjamin kualitas batin manusia. Karena itu, manusia tak pernah terpisahkan dengan sifat malu dan malu selalu berkaitan erat dengan ketebalan iman seseorang terhadap Rabbnya.
Sebagian besar sahabat Rasulullah SAW menjaga dan mengedepankan rasa malunya di atas kepentingan duniawi mereka. Usman, misalnya, dia adalah sahabat yang paling besar sifat malunya hingga Nabi SAW pun sangat menghormatinya.
Di masa hidupnya, Rasul pernah berbaring di pangkuan istrinya, lalu datang Abu Bakar sedang bagian tubuhnya terbuka, tetap nabi membiarkan hingga datang sahabat Umar.
Akan tetapi, ketika datang Utsman, Rasulullah dengan serta-merta merapikan pakaiannya agar tak terlihat olehnya. Ketika ditanya istrinya mengapa berbuat demikian kepada Usman dan tidak kepada Abu Bakar dan Umar, Nabi menjawab bahwa Usman sangat pemalu. Di lain waktu, Nabi pun menyanjung keistimewaan Utsman di hadapan para sahabat beliau. Usman terhormat karena menjaga malu yang melebihi malunya seorang gadis.




