REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG — Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Barat, KH Abdurrahman mengkritik keras kebijakan maksimal 50 siswa per kelas yang dikeluarkan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Menurut dia, aturan ini berdampak serius terhadap keberlangsungan pesantren dan sekolah-sekolah swasta yang selama ini menjadi mitra strategis dalam pendidikan di Jawa Barat.
“Secara umum, kebijakan ini sangat merugikan dunia pesantren dan sekolah swasta. Arah kebijakan gubernur seolah-olah makin menjauh dari kemajuan dan justru mendiskreditkan pesantren,” ujar Kiai Abdurrahman saat dihubungi Republika, Selasa (15/7/2025).
Dia menilai, keputusan itu menambah deretan kebijakan yang tidak berpihak kepada lembaga pendidikan swasta. Dari penghapusan batasan rombongan belajar (rombel) di sekolah negeri, hingga perluasan zonasi dan kebijakan ijazah. Menurut dia, hal tersebut mempersempit ruang gerak pesantren dalam menjaring siswa.
“Kami melihat kehadiran pesantren dan sekolah swasta seolah dianggap musuh, bukan mitra dalam dunia pendidikan. Padahal, Pemprov Jabar sendiri pernah menyampaikan bahwa mereka tidak sanggup meng-cover pendidikan tanpa bantuan swasta,” ucap dia.
Kiai Abdurrahman juga menyoroti dampak langsung kebijakan tersebut, dari mundurnya calon siswa hingga penurunan drastis jumlah santri. Di Cirebon, ujar dia, beberapa pesantren kehilangan hingga 70 persen pendaftar karena siswa yang sudah mendaftar ke swasta akhirnya mundur setelah kuota sekolah negeri bertambah.
“Ini bukan asumsi. Saya sendiri menerima banyak keluhan dari kepala sekolah pesantren. Anak-anak yang tadinya daftar ke swasta, mundur karena tiba-tiba negeri membuka kuota tambahan akibat kebijakan 50 siswa itu,” kata dia.