Rabu 25 Jun 2025 17:00 WIB

Konflik Iran-Israel Guncang Timur Tengah, Indonesia Jangan Diam

Indonesia tidak cukup hanya menyatakan keprihatinan.

Dosen Magister Ilmu Politik FISIP UMJ, Dr Asep Setiawan
Foto: dok pribadi
Dosen Magister Ilmu Politik FISIP UMJ, Dr Asep Setiawan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konflik antara Iran dan Israel kembali mencuat dalam eskalasi kekerasan yang semakin kompleks. Dr Asep Setiawan, MA, Dosen Magister Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (FISIP UMJ) menjelaskan, akar ketegangan antara Iran dan Israel tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan telah berkembang dalam dua tahun terakhir melalui serangkaian insiden yang memicu eskalasi.

“Kalau kita lihat kronologinya, konflik ini bermula dari pengeboman konsulat Iran di Damaskus yang menimbulkan korban cukup besar. Serangan itu diduga dilakukan agen-agen Mossad,” ujar Asep yang dikutip Rabu (25/6/2025).

Ia menambahkan, ketegangan kian meningkat setelah pembunuhan terhadap salah satu pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh, yang juga terjadi di Iran. Eskalasi terbaru dalam konflik Iran-Israel dimulai 1 April 2024 saat terjadi serangan pada fasilitas diplomatik Iran.

Serangan ini dibalas Iran pada 13 April, sebagai respons atas insiden di Damaskus. Aksi balasan tidak berhenti di sana. Israel kembali melancarkan serangan, disusul respons lanjutan dari Iran pada 1 Oktober 2024. Ketegangan terus meningkat, ditandai dengan benturan militer pada 26 Oktober di tahun yang sama.

Memasuki pertengahan 2025, konflik kembali pecah. Pada 13 Juni, Israel melancarkan serangan militer yang kemudian dibalas Iran dalam waktu singkat. Siklus serangan dan balasan ini menunjukkan ketegangan antara kedua negara semakin sulit dikendalikan.

Pada dasarnya, konflik ini berakar dari kekhawatiran strategis Israel terhadap potensi kepemilikan senjata nuklir oleh Iran. Bagi Israel, keberadaan kekuatan nuklir di tangan negara-negara Timur Tengah, khususnya Iran, dianggap ancaman serius bagi keamanan kawasan dan eksistensi negaranya sendiri.

Selain membahas eskalasi serangan, perhatian tertuju pada potensi penutupan Selat Hormuz sebagai respons strategis Iran. Secara historis, penutupan Selat Hormuz menjadi ancaman strategis yang pernah digunakan Iran saat Perang Iran-Irak (1980–1988), dan sempat memicu krisis minyak global.

Sebagai jalur vital ekspor minyak dari negara-negara Teluk ke Asia dan Eropa, selat ini menjadi “kartu as” Iran jika tekanan militer dari AS atau Israel meningkat.

Ancaman ini makin relevan karena beberapa negara Arab, seperti Yordania dan Arab Saudi, membiarkan wilayah udaranya digunakan untuk serangan Israel.

“Jika penutupan ini terjadi, harga minyak dunia diperkirakan bisa menembus 100 dolar AS per barel, yang akan berdampak pada kenaikan harga BBM seperti Pertamax dan Pertalite, serta memicu krisis ekonomi baru,” tutur Asep.

Potensi meluasnya perang di Timur Tengah kian nyata, terutama setelah beberapa negara Arab seperti Yordania, Mesir, UEA, Bahrain, Maroko, dan Libya melakukan normalisasi dengan Israel. Kondisi ini membuka peluang terbentuknya koalisi menghadapi Iran.

Selain itu, ketegangan sektarian Sunni-Syiah turut memperbesar risiko konflik regional yang lebih luas.

Kemungkinan Perang Dunia III

Asep menekankan, jika gencatan senjata tidak tercapai, potensi perang regional akan terus membesar. Sementara itu, kemungkinan pecahnya Perang Dunia III bergantung pada sikap Cina dan Rusia, yang memiliki kepentingan menyeimbangkan dominasi AS.

Jika AS bertindak agresif tanpa mempertimbangkan posisi kedua negara tersebut, keterlibatan Cina dan Rusia bisa meningkat. Hingga kini, respons keduanya masih sebatas pernyataan dan peringatan agar AS tidak terlalu campur tangan membela Israel.

Namun, eskalasi tetap terbuka, apalagi dengan serangan terbaru Iran ke markas militer AS di Qatar. Menanggapi perkembangan situasi global yang kian memanas, Asep melihat perlunya langkah konkret Indonesia mengambil peran aktif dalam mendorong perdamaian.

Asep menekankan, Indonesia tidak cukup hanya menyatakan keprihatinan, tetapi harus bertindak aktif di forum Gerakan Non-Blok untuk mendorong solusi damai melalui perundingan, bukan kekuatan senjata.

Ia juga menuturkan pentingnya diplomasi Indonesia di BRICS agar kelompok ini berperan dalam menjaga perdamaian global.

Indonesia Jangan Diam Tanggapi Konflik Timur Tengah

Di tingkat ASEAN, Indonesia perlu menggalang solidaritas dalam merespons konflik Timur Tengah. Asep mengingatkan agar Indonesia tidak melupakan Gaza, yang terus menjadi korban genosida Israel dan harus tetap menjadi perhatian diplomasi luar negeri.

Sebagai pernyataan penutup, Asep mengingatkan, mahasiswa dan masyarakat luas perlu memahami realitas dunia internasional yang tidak selalu berjalan berdasarkan hukum, nilai kemanusiaan, atau prinsip kesetaraan antarnegara.

Dalam praktiknya, tatanan global sering kali bersifat anarkis, di mana kekuatan militer dan politik lebih dominan daripada keadilan dan kesetaraan. “Siapa yang kuat akan menang, yang lemah akan ditekan,” ujarnya.

Karena itu, Asep menegaskan pentingnya Indonesia menjadi negara kuat di berbagai sektor, seperti ekonomi, politik, dan pertahanan agar tidak mudah menjadi korban tekanan dari kekuatan besar dunia. https://umj.ac.id/kata-pakar/

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement