REPUBLIKA.CO.ID,GAZA -- Di hari yang seharusnya digunakan untuk merayakan masa kecil dan harapan, anak-anak Gaza justru harus meratapi kehilangan nyawa, masa depan yang dicuri, dan mimpi yang hancur.
Selama 18 bulan yang mengerikan, anak-anak Gaza telah menanggung beban dari apa yang banyak orang sebut sebagai perang genosida, serangan tanpa henti yang telah merenggut lebih dari 50.000 nyawa warga Palestina, dua pertiganya adalah anak-anak dan perempuan.
Kenyataan suram ini diartikulasikan dengan tajam oleh Mays Abdel Hadi, Kepala Dewan Anak Palestina yang berusia 16 tahun, yang suaranya bergetar karena kesedihan dan perlawanan saat ia berbicara tentang kehancuran yang menimpa generasinya.
“Komunitas internasional telah gagal,” kata Mays kepada surat kabar Palestina, kata-katanya sarat dengan kesedihan.
"Mereka tidak hanya gagal menghentikan pembantaian yang mengerikan, tetapi juga gagal menjamin hak-hak yang paling mendasar bagi anak-anak kami, hak untuk hidup, keamanan, pendidikan, dan martabat,” kata Mays, dikutip dari laman Days of Palestine, Ahad (6/4/2025)
Kisahnya melukiskan gambaran mengerikan tentang bertahan hidup di tengah penderitaan yang tak terbayangkan, delapan kali pemindahan paksa di Gaza, mulai dari rumah keluarganya yang hancur di Gaza utara hingga ke Khan Yunis, lalu ke Rafah, dan kembali lagi.
Setiap perpindahan membawa kengerian baru, meninggalkan kepingan-kepingan kehidupan yang dulunya biasa, kini menjadi puing-puing.
Penargetan Orang Tak Bersalah yang Disengaja
Mays menegaskan bahwa penargetan anak-anak oleh Israel bukanlah sebuah kebetulan-ini adalah sebuah strategi yang diperhitungkan yang bertujuan untuk menghapus masa depan Palestina.
“Anak-anak menjadi yatim piatu, cacat, atau terbunuh, anggota tubuh mereka diamputasi, sekolah-sekolah mereka berubah menjadi tempat penampungan, taman bermain mereka dibom hingga menjadi tanah kosong,” katanya.
“Kami telah kehilangan segalanya, rumah kami, keluarga kami, rasa aman kami. Namun yang terburuk, kami kehilangan hak untuk bermimpi," ujarnya.
Menurut data yang dirilis oleh Biro Pusat Statistik Palestina (PCBS) menjelang Hari Anak Palestina, jumlah korban anak-anak belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah modern. Sekitar 39.000 anak di Gaza telah kehilangan salah satu atau kedua orang tua mereka, termasuk 17.000 anak yang menjadi yatim piatu. Angka-angka yang mengejutkan ini tidak hanya mencerminkan tragedi individu, tetapi juga seluruh generasi yang terluka oleh trauma dan kehilangan.
Laporan PCBS lebih lanjut mengungkapkan bahwa di antara korban wafat terdapat 274 bayi yang lahir di bawah pengeboman, 876 anak di bawah usia satu tahun, dan 17 orang lainnya yang meninggal karena suhu beku di tenda-tenda darurat.
Sebanyak 52 anak lainnya meninggal karena kelaparan dan kekurangan gizi yang sistematis, sebuah pengingat nyata tentang bagaimana blokade dan pengepungan telah mempersenjatai kelaparan terhadap penduduk Gaza yang paling muda.
Perang Tanpa Belas Kasihan
Di luar genosida Israel yang langsung terjadi, terdapat serangkaian krisis sekunder yang diperburuk oleh konflik. Pada Juli 2024, Gaza mengalami wabah polio pertama dalam 25 tahun terakhir setelah tingkat vaksinasi anjlok akibat runtuhnya infrastruktur kesehatan.
Kerawanan pangan telah mencapai tingkat bencana, dengan hampir 1,95 juta orang menghadapi kekurangan pangan akut. Sementara itu, laporan menunjukkan bahwa pasukan Israel pelaku genosida di Gaza telah menahan lebih dari 1.055 anak sejak 7 Oktober 2023, sebuah tindakan yang dikecam sebagai pelanggaran mencolok terhadap hukum internasional.