REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu ibadah yang khas Ramadhan ialah sahur. Makan pada dini hari (sebelum subuh) ini sungguh sarat keberkahan dan manfaat bagi kaum Muslimin yang akan menjalankan ibadah puasa.
Dalam sebuah hadis riwayat Ahmad, Nabi Muhammad SAW mengimbau umatnya ketika Ramadhan, "Bersahurlah, sesungguhnya dalam sahur itu penuh dengan keberkahan."
Sahur juga berfungsi sebagai pembeda antara puasa yang diamalkan umat Islam dan yang dilakukan umat-umat Ahli Kitab, yakni kaum Yahudi dan Nasrani. Rasulullah SAW menjelaskan dalam sebuah hadis.
Dari Amr bin al-Ash, ia berkata, Nabi SAW bersabda, "Sesungguhnya, keutamaan yang ada antara shaum kita (Islam) dan Ahli kitab itu adalah makan sahur" (HR Muslim).
Kemudian, ada dua lagi perbedaan antara shaum-nya umat Islam dan puasanya kaum Yahudi-Nasrani. Ustadz Ahmad Sarwat menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Sejarah Puasa, perbedaan yang cukup signifikan adalah pada segi keringanan (rukhsah).
View this post on Instagram
Jika dibandingkan dengan puasa yang dilakukan umat dahulu, puasa yang disyariatkan untuk umat Rasulullah SAW jauh lebih ringan. Sebagai contoh, Maryam. Ibunda Nabi Isa itu saat shaum tak hanya menahan lapar dan dahaga, tetapi juga tidak berbicara.
"Jika berbicara, maka puasanya akan batal," tulis Ustaz Ahmad Sarwat.
Rukhsah lain yang dirasakan terletak pada syarat seseorang yang hendak berpuasa. Muslim yang sakit, musafir, atau tidak mampu boleh tidak berpuasa walaupun nanti mereka mengganti dengan qadha’ atau membayar fidyah.
Umat Nabi Muhammad SAW juga diharamkan menjalani puasa wishal, yakni puasa yang dilakukan terus-menerus tanpa berbuka atau sahur.
Rasulullah SAW melarang umat beliau berpuasa wishal sebagai bentuk kasih sayang kepada mereka. Para sahabat bertanya, “Anda sendiri berpuasa wishal?”