Senin 17 Feb 2025 16:44 WIB

Pedoman Dasar Muslim Dalam Berpolitik

Hadis ini disebut sebagai pedoman dasar seorang Muslim di dunia politik.

Memilih pemimpin melalui kontestasi politik (ilustrasi)
Foto: AHS
Memilih pemimpin melalui kontestasi politik (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada suatu hari, Abu Dzar al-Ghifari meminta kepada Rasulullah SAW agar diangkat menjadi seorang pejabat. Namun, Nabi Muhammad SAW menolaknya.

Sambil menepuk-nepuk pundak sahabatnya itu, kepadanya Nabi SAW menasihati, "Tidak, Abu Dzar, engkau orang lemah. Ketahuilah, jabatan itu amanah. Ia kelak di hari kiamat merupakan kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mendapatkannya dengan benar dan melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan benar pula" (HR Bukhari).

Baca Juga

Imam Nawawi menyebut hadits di atas merupakan pedoman dasar dalam berpolitik. Politik dapat menjadi sumber petaka bagi orang yang tidak mampu dan tidak bertanggung jawab.

Sebaliknya, kata Nawawi, politik dapat pula menjadi ladang pengabdian dan amal saleh yang subur bagi orang yang mampu dan bertanggung jawab. Politik (kekuasaan) bukan sesuatu yang buruk. Ia ibarat pisau bermata dua: bisa baik dan buruk.

Ia menjadi baik dengan tiga syarat, seperti disebut dalam hadis di atas, yaitu berada di tangan orang yang tepat (capable), diperoleh dengan cara yang benar (acceptable), dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat (responsible).

Sayangnya, dalam percaturan politik, orang kerap hanya bicara satu hal, yaitu bagaimana merebut kekuasaan dan mencapai takhta, bukan bagaimana mempergunakan kekuasaan itu serta mempertanggungjawabkannya kepada rakyat, dan terlebih lagi kepada Tuhan, Allah SWT.

Kekuasaan atau takhta memang menggiurkan. Sebab, dengan takhta, orang membayangkan dapat mencapai semua impian dan keinginannya. Menurut Imam Ghazali, dibanding harta, takhta jauh lebih menggoda.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (@republikaonline)

Ada tiga alasan mengapa demikian. Pertama, kekuasaan dapat menjadi alat (wasilah) untuk memperbanyak harta. Dengan takhta, seorang bisa memperkaya diri.

Tidak demikian sebaliknya. Orang yang telah menghabiskan seluruh hartanya, tidak dengan sendirinya ia bisa mencapai takhta.

 

sumber : Hikmah Republika oleh A Ilyas Ismail
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement