Sabtu 04 Jan 2025 18:48 WIB

Tradisi Tujuh Hingga 40 Hari untuk Orang Meninggal Disebut Bid'ah, Ini Penjelasannya

Tradisi tersebut dinilai sebagai bentuk bid'ah hasanah.

Rep: Muhyiddin/ Red: A.Syalaby Ichsan
Kegiatan yasinan dan tahlilan pada hari pertama ziarah kubro di makam Al-Habib Aqil Bin Yahya
Foto: ANTARA/Yudi Abdullah
Kegiatan yasinan dan tahlilan pada hari pertama ziarah kubro di makam Al-Habib Aqil Bin Yahya

REPUBLIKA.CO.ID,Tradisi Tujuh Harian dan 40 Harian adalah bagian dari tradisi yang banyak dipraktikkan oleh umat Islam, khususnya di Indonesia. Tradisi ini banyak dipraktikkan oleh umat Islam yang tinggal di Tanah Jawa. 

Tradisi ini melibatkan doa bersama untuk mendoakan orang yang telah meninggal, yang biasanya dilakukan pada hari ketujuh, ke-40, ke-100, bahkan hingga haul (peringatan tahunan).

Baca Juga

Dalam tradisi ini, umat Islam menghadiahkan pahala dari bacaan thayyibah kepada almarhum, membaca surat Yasin, tahlil, tahmid, istighatsah, dan diakhiri dengan doa yang ditujukan kepada orang yang telah meninggal dunia.

Lantas, apakah tradisi selamatan setelah kematian ini termasuk tindakan bidah? Bagaimana hukum melakukan acara seperti ini yang tradisinya ditentukan oleh hari dan jumlahnya? Dasar apa yang bisa dijadikan sebagai landasan amaliahnya?

Santri Ponpes Sidogiri, Lubbil Labib menjelaskan, sejauh ini belum ditemukan adanya bukti pembacaan tahlil untuk mayit beserta tata cara pelaksanaannya sebagai ajaran yang diajarkan langsung oleh Nabi SAW. 

Namun, menurut dia, jika merujuk pada konsep bid'ah yang diusung oleh para ulama, tahlilan dapat dikategorikan sebagai bid'ah hasanah (bid'ah yang baik) karena isi bacaannya terdiri dari kalimat thayyibah dan doa bersama untuk orang yang telah meninggal. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement