REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap Muslim tentu ingin—atau setidaknya merasakan—bertemu dengan Allah SWT. Secara umum, orang Islam beranggapan bahwa berinteraksi dengan Allah hanya bisa dilakukan melalui ibadah-ibadah ritual, seperti shalat, berdoa, berzikir, hingga pergi ke tempat-tempat suci untuk berhaji dan umrah. Tentu, anggapan ini tidak salah walau tidak 100 persen benar.
Melakukan ibadah ritual saja tanpa berdampak pada akhlak sosial, boleh jadi menimbulkn kesia-siaan. Bahkan, tak menutup kemungkinan kualitas ibadah yang demikian justru mendatangkan kecelakaan bagi pengamalnya.
Alquran menyebut, shalat yang tidak melahirkan kepedulian sosial adalah as-sahun (lalai). Pengamalnya digelari sebagai pendusta agama.
"Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan fakir miskin. Maka, celakalah bagi orang yang shalat (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang yang berguna" (QS al-Ma'un: 1-7).
Dalam pandangan Islam, hubungan ibadah ritual dan akhlak sosial bagaikan ruh dan jasad pada diri manusia. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Jika salah satu dari keduanya tidak ada, namanya bukan lagi manusia.
Demikian juga hubungan ibadah ritual dengan akhlak sosial. Keduanya tidak boleh dipisahkan. Satu sama lain harus saling berhubungan.
Shalat yang baik mesti melahirkan kesadaran berzakat, infak, dan akhlak baik. Alquran menegaskan hal itu. "Dan dirikanlah shalat dan tunaikan zakat" (QS al-Baqarah: 110).
Salah satu indikator kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya adalah mendapatkan pertolongan dari-Nya. Caranya tidak sekadar beribadah ritual, tetapi juga sosial. Nabi Muhammad SAW bersabda, "Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya sepanjang hamba tersebut menolong saudaranya" (HR Muslim).