Jumat 11 Oct 2024 19:30 WIB

Kisah Diaspora Palestina yang Kehilangan 117 Kerabatnya di Gaza

Palestina akan terus mempertahankan kawasannya.

Warga Palestina antre untuk mendapatkan air bersih di dekat salah satu dari sedikit pabrik desalinasi yang berfungsi di Deir al-Balah, Jalur Gaza, Kamis, 20 Juni 2024. Data Pusat Satelit PBB (UNOSAT), operasi militer Israel di Jalur Gaza merusak atau menghancurkan hampir 66 persen dari total bangunan di wilayah itu dalam tempo setahun.
Foto: AP Photo/Abdel Kareem Hana
Warga Palestina antre untuk mendapatkan air bersih di dekat salah satu dari sedikit pabrik desalinasi yang berfungsi di Deir al-Balah, Jalur Gaza, Kamis, 20 Juni 2024. Data Pusat Satelit PBB (UNOSAT), operasi militer Israel di Jalur Gaza merusak atau menghancurkan hampir 66 persen dari total bangunan di wilayah itu dalam tempo setahun.

REPUBLIKA.CO.ID, HAMILTON -- Bagi Adel Abu Lebdeh, langit seperti runtuh ketika mengetahui bahwa 117 kerabatnya tewas dalam serangan-serangan udara Israel di Jalur Gaza. Dia hanyalah satu dari sekian banyak diaspora Palestina yang kehilangan orang-orang terkasih akibat agresi Israel di wilayah kantong itu, yang telah menewaskan lebih dari 42.000 orang dan melukai lebih dari 98.000 lainnya.

"Saya kehilangan sepertiga keluarga saya," katanya dengan air mata bercucuran, saat menceritakan dampak perang tersebut terhadap komunitas Palestina di Hamilton, Kanada. Bagi pria yang mengaku keturunan Palestina-Kanada itu, kehilangan kerabat bukan hanya tragedi pribadi, tetapi juga mengubah cara dia memandang kehidupan. "(Kehilangan) itu mengubah pemahaman kami pada kehidupan," katanya.

Baca Juga

"Hidup serasa tidak penting lagi." Dia mengatakan bahwa duka yang dirasakannya semakin dalam karena lebih dari 11 keluarga Palestina di Hamilton juga memiliki kisah serupa. "Saya kehilangan sekitar 117 anggota keluarga—sanak-saudara, paman, keponakan, dan sepupu," katanya. Menurut dia, impian dan masa depan mereka kini telah direnggut.

Seraya menahan tangis, Abu Lebdeh bercerita soal beberapa keponakannya yang baru lulus kuliah dan tewas dalam serangan udara Israel beberapa bulan kemudian. Dia ingat komunikasi terakhir lewat telepon dengan sepupunya di Gaza. "Esok harinya, rumahnya dibom. Saya tak sempat mengucapkan selamat tinggal," katanya. Pengeboman itu menewaskan 17 kerabat Abu Lebdeh, menghapus nama mereka dari daftar kehidupan.

"Mereka semua memiliki masa depan yang baik. Sayangnya, mereka sudah tiada," ujarnya. Dia juga mengatakan ada keluarga lain di Hamilton yang kehilangan lebih dari 250 kerabat di Gaza. "Ini adalah Holocaust baru yang terjadi di depan mata dunia," katanya sambil terisak. Abu Lebdeh begitu mengecam ketidakpedulian masyarakat dunia terhadap genosida yang sedang berlangsung di Gaza. "Dunia menyaksikannya, dan mereka seakan setuju atau diam karena punya kepentingan, atau mungkin terbiasa melihat pembunuhan massal," ujarnya.

Dia mengkritik kelambanan komunitas internasional, terutama mereka yang disebutnya memiliki "sistem politik yang korup." Abu Lebdeh juga menyesali hilangnya persatuan di antara negara-negara Muslim. "Sayangnya, sejak Kekaisaran Ottoman runtuh dan umat terbelah menjadi entitas-entitas kecil dalam Perjanjian Sykes-Picot, definisi 'umat' mungkin sudah tidak ada lagi." Kanada "di sisi yang salah dalam sejarah" Abu Lebdeh menggambarkan diamnya negara-negara tetangga Palestina, seperti Mesir dan Yordania, sebagai bentuk keterlibatan mereka dalam kekejaman tersebut.

"Mereka tidak hanya diam, tetapi juga terlibat dalam genosida yang sedang dialami saudara-saudara kita di Gaza dan di seluruh Palestina, dan sekarang terhadap Lebanon juga," katanya. Menurut dia, meski banyak orang di dunia berada di pihak yang benar dengan mendukung Gaza, "sistem politik yang menguasai dunia berada di pihak yang salah, di sisi sejarah yang salah." Abu Lebdeh mengungkapkan kekecewaannya yang besar terhadap sikap Kanada, terutama Perdana Menteri Justin Trudeau. "Sangat memalukan bagi Trudeau berada di sisi sejarah yang salah," katanya.

Dia mengecam sikap Kanada terhadap resolusi PBB tentang “pendapat hukum” dari Mahkamah Internasional soal konsekuensi hukum yang timbul dari kebijakan dan praktik Israel di wilayah Palestina yang mereka duduki. Abu Lebdeh menyoroti perbedaan yang mencolok antara Trudeau dan ayahnya, mantan PM Pierre Trudeau, yang dikenal pro-Palestina.

"Dia (Justin Trudeau) seperti melanggar ungkapan 'buah jatuh tak jauh dari pohonnya' dan dia memilih sisi sejarah yang salah, membawa seluruh Kanada ke sisi sejarah yang salah." Abu Lebdeh menilai pemerintah Kanada berperan dalam genosida di Gaza dengan memberi Israel bantuan militer dan dukungan politik. Namun, Abu Lebdeh mengaku masih berharap agar pemerintah Kanada meninjau kembali sikap mereka terhadap Israel. Bagi dia, dampak dari konflik ini tidak cuma terkait dengan masa kini, tetapi juga masa depan.

Dia juga mengungkapkan keprihatinannya tentang generasi Muslim Kanada yang akan datang. "Bagaimana perasaan mereka ketika membaca sejarah?" katanya, merujuk pada sikap pemerintah Kanada terhadap genosida. Ketika bom terus berjatuhan di Gaza, Abu Lebdeh menyerukan kepada dunia, terutama Kanada, untuk berpihak pada kemanusiaan sebelum semuanya menjadi terlambat. 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement