REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—Al-Hafizh Ahmad bin Muhammad bin al-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani adalah ulama ahli hadits yang terakhir menyandang gelar al-hafizh (gelar kesarjanaan tertinggi dalam bidang ilmu hadits).
Dia memiliki kisah perdebatan yang sangat menarik dengan kaum Wahabi. Dalam kitabnya, Ju’nat al-’Aththar, sebuah autobiografi yang melaporkan perjalanan hidupnya, sebagaimana dikutip dari Buku Pinter Debat Wahabi yang diterbitkan LBM NU Jember, beliau mencatat kisah berikut ini:
“Pada 1356 H ketika saya menunaikan ibadah haji, saya berkumpul dengan tiga orang ulama Wahabi di rumah Syekh Abdullah al-Shani’ di Makkah yang juga ulama Wahabi dari Najd. Dalam pembicaraan itu, mereka menampilkan seolah-olah mereka ahli hadits, amaliahnya sesuai dengan hadits dan anti taklid.
Tanpa terasa, pembicaraan pun masuk pada soal penetapan ketinggian tempat Allah subhanahu wa ta‘ala dan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala itu ada di atas ‘Arasy sesuai dengan ideologi Wahabi.
Mereka menyebutkan beberapa ayat Alquran yang secara literal (zhahir) mengarah pada pengertian bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala itu ada di atas ‘Arasy sesuai keyakinan mereka.
Akhirnya saya (al-Ghumari) berkata kepada mereka,“Apakah ayat-ayat yang Anda sebutkan tadi termasuk bagian dari Alquran?” Wahhabi menjawab, “Ya.” Saya berkata: “Apakah meyakini apa yang menjadi maksud ayat-ayat tersebut dihukumi wajib?” Wahhabi menjawab, “Ya.” Saya berkata, “Bagaimana dengan firman Allah subhanahu wa ta‘ala:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ ۚ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا ۖ وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Mahamelihat apa yang kamu kerjakan.”
Apakah ini termasuk Alquran?” Wahabi tersebut menjawab, “Ya, termasuk Alquran.”
Saya berkata, “Bagaimana dengan firman Allah subhanahu wa ta‘ala:
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۖ مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَىٰ ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلَا أَدْنَىٰ مِنْ ذَٰلِكَ وَلَا أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا ۖ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dialah keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah mahamengetahui segala sesuatu.”
Apakah ayat ini termasuk Alquran juga?” Wahabi itu menjawab, “Ya, termasuk Alquran.” Saya berkata, “(Kedua ayat ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak ada di langit). Mengapa Anda menganggap ayat-ayat yang Anda sebutkan tadi yang menurut asumsi Anda menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit lebih utama untuk diyakini dari pada kedua ayat yang saya sebutkan yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak ada di langit? Padahal kesemuanya juga dari Allah subhanahu wa ta‘ala?” Wahabi itu menjawab, “Imam Ahmad mengatakan demikian.”
Saya berkata kepada mereka, “Mengapa kalian taklid kepada Ahmad dan tidak mengikuti dalil?” Tiga ulama Wahabi itu pun terbungkam. Tak satu kalimat pun keluar dari mulut mereka. Sebenarnya saya menunggu jawaban mereka, bahwa ayat-ayat yang saya sebutkan tadi harus ditakwil, sementara ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit tidak boleh ditakwil.