REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rumah Wakaf menjadi bagian dalam sesi diskusi bersama Zaini Osman. Zaini ialah salah satu Senior Director di Majlis Ugama Islam Singapura (MUIS) yang juga adalah CEO Warees Investment pada periode tahun 2012 hingga 2020.
“Religious harmony (keberagaman antar umat beragama) adalah aset yang sangat penting dalam Pembangunan negara Singapura secara keseluruhan,” ujar Zaini dalam pembukaan sesi diskusinya dengan sejumlah pimpinan dan manajemen lembaga filantropi di Kota Bandung, pada Jumat (14/6/2024)
Zaini Osman berbagi wawasan tentang bahwa meskipun Singapura adalah negara sekuler, namun menerapkan AMLA (Administration of Muslim Law) yang merupakan undang-undang yang mengatur tentang urusan agama Islam, pembentukan dewan agama untuk memberikan nasihat tentang hal-hal berkaitan dengan agama Islam, dan pembentukan Pengadilan Syariah di Singapura.
Penerapan AMLA ini, menurut Zaini, menjadikan tata kelola seluruh entitas keagamaan Islam highly regulated oleh pemerintah. Salah satu di antaranya adalah tentang bagaimana Singapura mengatur tata kelola masjid di sana, yang keseluruhannya hanya berjumlah 70 masjid secara nasional.
Meskipun hanya berjumlah tujuh puluh, namun instrumen filantropi Islam yaitu infak, tumbuh signifikan yaitu hingga 100 juta dolar Singapura atau setara Rp 1,2 triliun. Kondisi seperti ini pulalah yang menjadikan masjid menjadi sarana ibadah di Singapura yang pertama kali membuka pelayanan untuk publik Singapura paska status lockdown di angkat di masa pandemik COVID lalu.
“Status lockdown baru diangkat, para pengelola masjid lah yang pertama kali tergerak untuk membangun sistem pendaftaran dan antrian agar warga bisa berjamaah di masjid, tanpa melanggar regulasi ketat perihal interaksi di masa COVID ini,” kata Zaini.
Zaini menyampaikan bahwa bukan hanya masyarakat Muslim saja yang menyambut baik hal ini, melainkan komunitas kerukunan beragama yang lain pun memberikan apresiasi yang sangat positif bahkan mengadopsi sistem yang dibangun oleh para pengelola masjid di tempat-tempat ibadah mereka.
Hal ini menjadi fenomena yang sangat menarik untuk dijadikan studi bagaimana inovasi filantropi bisa juga diterapkan di Indonesia di antaranya adalah melalui himpunan serta pendayagunaan wakaf. Oleh karena itu, Rendi Septiyan Nugraha selaku CEO Rumah Wakaf, mengutarakan pertanyaan yang menjadi pemantik diskusi selanjutnya.
“Bagaimana agar wakaf yang terhimpun bisa terus bertumbuh? Bagaimana risk management pengelolaannya dibangun? Kemudian, teknologi seperti apa saja yang bisa menjadi daya dorong himpunan dana filantropi Islam?” tanya Rendi.
Berdasarkan pengalamannya sebagai CEO Warees Investment, Zaini menjelaskan bahwa meskipun Warees merupakan entitas yang berorientasi pada profit, tapi tetap menjunjung tinggi nilai-nilai sebagai Baitul Maal. Warees mengelola tanah dan aset wakaf dengan melibatkan berbagai kalangan masyarakat (tidak hanya Muslim), tapi pendayagunaan dana-dana sosialnya tetap berpihak pada Masyarakat muslim yang membutuhkan.
Zaini Osman menjawab dengan menjelaskan bahwa keseimbangan antara profit dan tujuan sosial dicapai melalui pengelolaan yang ketat dan inovatif, serta komitmen yang kuat terhadap prinsip-prinsip wakaf.
Ia juga menyampaikan bahwa keberhasilan MUIS dalam mengelola dana wakaf tidak lepas dari sistem akuntansi terpusat yang mereka gunakan – dan karena hal ini pun private sector seperti Warees sangat terbantu karena adanya dukungan dari MUIS sebagai regulator, serta upaya terus-menerus dalam memperkenalkan produk baru yang relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Warees Investment di masa kepemimpinannya ketika itu, mengelola lebih dari 500 juta dolar Singalura dan pendapatan tahunan sebesar 12 juta dolar Singapura. pada saat itu Warees hanya memiliki tim yang terdiri dari lebih dari 30 orang yang berdedikasi dalam pengelolaan dana tersebut.
Setiap tahun, mereka memperkenalkan produk baru berdasarkan proposal dari masyarakat, yang menunjukkan betapa pentingnya inovasi dalam menjaga sustainability.
Dalam hal akuntansi, Singapura menerapkan sistem akuntansi dan pengumpulan dana yang terpusat untuk memastikan transparansi dan efisiensi. Zaini juga membahas tentang pentingnya keberanian dalam mengambil risiko untuk mencapai inovasi. Ia bertanya kepada hadirin, "Tidak akan ada inovasi jika Anda tidak berani mengambil risiko. Seberapa besar toleransi risiko yang dapat diterima perusahaan Anda?"
Acara ini tidak hanya memberikan wawasan mendalam tentang pengelolaan wakaf yang sukses di Singapura tetapi juga membuka diskusi tentang bagaimana praktik terbaik tersebut dapat diterapkan di Indonesia. Dengan demikian, sesi berbagi ini diharapkan dapat memberikan inspirasi dan panduan bagi lembaga-lembaga wakaf di Indonesia untuk lebih efektif dalam mengelola aset wakaf mereka.