REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap tahun penyelenggaraan haji, jamaah dari Aceh selalu mendapatkan ‘berkah’. Badan Wakaf Baitul Asyi memberikan uang saku kepada setiap jamaah haji asal Aceh dengan jumlah beragam. Tahun ini, masing-masing dari mereka memperoleh 1.500 saudi Riyal atau setara dengan Rp 6,5 juta. Jumlah yang lumayan untuk jajan dan membeli oleh-oleh untuk sanak famili di kampung halaman.
Berdasarkan data Kementerian Agama, tahun ini terdapat 4.709 jamaah haji asal Aceh. Jika masing-masing jamaah memperoleh uang saku sebanyak itu, maka jumlah keseluruhan uang yang diberikan Baitul Asyi kepada jamaah haji asal Aceh adalah 7.063.500 saudi Riyal atau setara dengan Rp 30.606.145.500 (tiga puluh miliar enam ratus enam juta seratus empat puluh lima ribu lima ratus rupiah). Jumlah uang yang luar biasa.
Kisah baitul asyi dapat menebar kebaikan semacam itu bermula dari wakaf yang digerakkan Habib Buja al Asyi pada abad ke-18. Dia mengumpulkan para orang-orang dermawan, termasuk di dalamnya saudagar Aceh yang merantau ke Tanah Suci. Mereka sama-sama berkomitmen untuk berwakaf.
Wakaf mereka berbentuk tempat tinggal untuk para jamaah haji asal Aceh yang terletak di dekat Masjidil Haram. Dalam perkembangannya kini, wakaf mereka bertambah menjadi beberapa unit hotel yang terletak di Makkah.
Lebih dari dua abad sudah Baitul Asyi memberikan manfaat kepada jamaah haji Indonesia. Melalui pengelolaan wakaf yang didasari integritas tinggi, hasil yang diperoleh menjadi berkah yang kemudian disalurkan kepada para tamu Allah yang bermunajat dengan sungguh-sungguh di Tanah Suci. Wakaf yang dimanfaatkan untuk keistikamahan ribuan tamu Allah yang beribadah.
Berkaca kepada Baitul Asyi, Pemerintah Indonesia seharusnya dapat membuka usaha berbasis wakaf produktif. Bentuknya bisa berupa penginapan seperti yang dijalankan Baitul Asyi. Misalkan dengan menggandeng brand hotel yang dikelola pengusaha Muslim. Kemudian manfaatnya dan segala berkah yang didapat nantinya dapat diberikan kepada dhuafa di berbagai daerah.
Tidak sedikit, bila wakaf produktif dikelola dengan baik di Tanah Air, maka pendapatan yang dihasilkan akan berlimpah. Badan Wakaf Indonesia misalkan, pernah menyebut potensi wakaf uang produktif mencapai Rp 180 triliun. Dari jumlah sebanyak itu, jika disisihkan 10 persennya saja maka akan sampai ke angka Rp 18 triliun.
Sementara itu, terdapat 25,90 juta orang miskin di Indonesia berdasarkan data 2023. Jika hasil wakaf uang Rp 18 triliun disalurkan kepada mereka, maka masing-masing orang miskin tersebut akan mendapatkan sekitar Rp 600 ribu. Jumlah yang lebih tinggi dibandingkan rerata pendapatan bulanan mereka yang hanya Rp 500 ribuan.
Namun ini baru dari potensi wakaf uang produktif. Belum dari wakaf produktif berupa perusahaan dengan berbagai komoditas yang dihasilkan, sukuk, dan lainnya. Belum lagi wakaf profesi, wakaf temporal, dan banyak lagi. Masing-masing memiliki ‘angka’ yang jika dikelola dengan sungguh-sungguh, dapat menjadi solusi berbagai persoalan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Selain itu, wakaf juga menjadi wasilah pembangunan yang berkelanjutan. Dengan kerelaan mewakafkan sebagian harta, maka biaya UKT perkuliahan tak lagi naik, atau bahkan bisa menjadi nol. Pembangunan infrastruktur bisa saja berjalan terus tanpa membebani APBN, dan banyak lagi.
Semua itu bisa terjadi, asalkan wakaf menjadi gaya hidup Muslim Indonesia. saat ini ada 236 juta Muslim di Indonesia. Jika ada 20 persen saja dari jumlah itu, atau sekitar 46 juta orang, berwakaf masing-masing Rp 1 juta, maka akan terkumpul angka yang luar biasa besar. Jumlah yang sangat cukup untuk meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia, membangun SDM berkualitas, dan menggenjot perekonomian nasional.
Sungguh banyak manfaat strategis wakaf. Yang harus dilakukan kini adalah membangun perencanaan, peta jalan perwakafan nasional dengan melibatkan instansi wakaf yang ada. Kemudian berkolaborasi dengan swasta dan negara, sehingga nantinya ekosistem wakaf semakin powerful.
Ini harus dimulai bersama. Mulai dari satu langkah untuk menuju seribu langkah memajukan negeri ini, seperti dahulu Habib Bugak al Asyi memulai wakaf di Tanah Suci untuk menebar kebaikan kepada banyak jamaah haji asal Aceh.