Senin 23 Oct 2023 14:16 WIB

Peserta Pemilu 2024 Diharap Junjung Tinggi Keadilan Bersama

Demokrasi yang dianut oleh Negara kita adalah Demokrasi Pancasila.

Pemilu (ilustrasi)
Foto: ANTARA/Mohammad Ayudha
Pemilu (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Demokrasi yang dianut oleh Negara kita adalah Demokrasi Pancasila. Sistem demokrasi yang dilaksanakan berdasarkan musyawarah untuk mufakat bagi kesejahteraan rakyat itu perlu menjadi perhatian semua pihak menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) pada tahun 2024 yang tinggal beberapa bulan lagi. 

Di Pemilu 2024, selain Pemilihan Presiden, Pemilihan Anggota Legislatif dan Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Daerah pada 14 Februari 2024, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga akan menggelar Pemilu Kada Serentak pada 27 November 2024.

Baca Juga

PemiluKada diikuti 548 daerah dengan rincian 38 propinsi, 415 kabupaten dan 98 kotamadya. Patut direnungkan bersama, apakah demokrasi yang berjalan di Indonesia telah sesuai dengan relnya, yaitu Demokrasi Pancasila? Perlu diketahui juga bahwa penyelenggaraan Pemilu merupakan prasyarat bagi negara yang menggunakan sistem demokrasi.

"Pemilu diselenggarakan untuk mewujudkan tujuan demokrasi, yaitu pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Untuk mencapai tujuan tersebut, penyelenggaraan Pemilu harus mencerminkan nilai-nilai demokrasi," tegas Praktisi Hukum dan Pemerhati Polsosbud, Agus Widjajanto, SH MH, dalam keterangannya, Senin 23 Oktober 2023. 

"Sistem demokrasi perwakilan bertujuan agar kepentingan dan kehendak warga negara tetap dapat menjadi bahan pembuatan keputusan melalui orang-orang yang mewakili mereka," sambungnya. 

Diungkapkan, Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi konstitusional dengan mekanisme Pemilu langsung yang merupakan bentuk kedaulatan rakyat dalam untuk memilih penyelenggara negara dan pemerintahan berdasarkan kontitusi yaitu UUD 1945. Dimana sebagai Negara Demokrasi Yang berazaskan Pancasila, maka pelaksanaannya juga harus sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

photo
Praktisi hukum Agus Widjojanto - (Dok Republika)

Meminjam istilah dari Plato, bahwa negara haruslah berdasarkan hukum dan keadilan. Peraturan dibuat rakyat dan gagasan yang timbul, saat jaman Yunani kuno, Plato melihat keadaan negaranya yang dipimpin oleh pemimpin otoriter. Sedangkan Aristoteles merumuskan negara hukum adalah negara yang berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan bagi warga negaranya. 

"Negara hukum dan demokrasi sangat erat hubungannya, negara tanpa peraturan hukum yang adil mustahil mencapai demokrasi. Supremasi hukum dan kedaulatan hukum itu sendiri pada hakekatnya berasal dari kedaulatan rakyat yang diberikan kepada wakilnya dalam hal ini penguasa dan DPR," urai Agus Widjajanto. 

Berlaku demikian karena memang terdapat korelasi yang jelas antara hukum yang bertumpu pada kontitusi dengan kedaulatan rakyat yang dijalankan melalui sistem demokrasi. Karena itu pula kemudian muncul istilah demokrasi konstitusional. 

"Yang jadi pertanyaan kita selanjutnya, mengapa dalam negara demokrasi di dalam negara berkembang kerap muncul kekuasaan yang ditopang oleh  oligarki, dalam sistem demokrasi?," kata dia. 

Pria asal Kudus Jawa Tengah itu lantas mengutip catatan Prof Suteki dalam buku Hukum dan masyarakat ,  mengenai beberapa faktor yang mendorong munculnya oligarki. Pertama, keberadaan figur utama dalam elite partai yang menjadi penentu dalam banyak keputusan yang merupakan representasi dari ideologis dan historis dari pembentukan partai itu sendiri. 

Kedua, adanya ketergantungan finansial pada sumber sumber keuangan Partai yang kerap dimiliki oleh elit partai , dimana Colin Crouch (2004) menggunakan istilah 'Firma politik'. Ketiga, karena pelembagaan partai yang belum sempurna , dimana kondisi sistem yang dibangun partai masih merujuk pada elit partai.  

Selanjutnya AD/ART partai yang masih menjunjung tinggi elit partai. Terakhir faktor eksternal yang turut mempengaruhi partai, yang mana masih memberikan celah untuk membangun oligarki dalam dirinya. Baik pada kaderisasi maupun pengelolaan keuangan masih yang dijalankan secara sentralistik . 

Agus Widjajanto menurutkan, Jeffrey A.Winters dalam bukunya bertajuk oligarchy menempatkan oligarki dalam dua dimensi. Pertama oligarki yang dibangun atas dasar kekuatan modal kapital yang tidak terbatas hingga mampu menguasai simpul simpul kekuasaan dan kedua oligarki yang beroperasi pada kerangka kekuasaan yang menggurita secara sistemik, dimana . 

"Jika menilik pendapat Jeffri A Winters, seharusnya suara rakyat tidak hanya dibutuhkan dan diakui hanya untuk 5 tahunan saat pemilu. Setelah itu suara rakyat yang pada esensinya adalah Suara Tuhan, tidak lagi dianggap. Ini harus dihindari, para elit partai dan para stake holder pengambil kebijakan harus benar-benar mendengar aspirasi rakyat," ucapnya. 

Agus Widjajanto mengkhawatirkan dampak sebagaimana pernah ditegaskan Jeffry A Winters, yakni timbulnya rasa apatis disebagian besar kalangan masyarakat terhadap proses demokrasi dan politik itu sendiri. Jika itu terjadi, maka tidak ada lagi negara demokrasi dan dengannya pula esensi negara hukum menjadi tidak jelas. 

"Sistem yang ditimbulkan oleh pengaruh kekuasaan oligarki bisa menimbulkan dampak serius, kolapsnya negara hukum, serta prinsip-prinsip demokrasi akan mati. Apa yang tertuang dalam nilai-nilai Pancasila juga hanya tinggal slogan tertulis, dimana ruhnya demokrasi dan negara hukum sesuai kontitusi telah tiada lagi," bebernya. 

Sebab itu, Agus Widjajanto berpesan agar semua pihak yang mengikuti kontestasi dalam Pemilu 2024 untuk senantiasa menjunjung tinggi bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan (Vox Populi, Vox Dei) bagi Kedaulatan dan keadilan bersama.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement