Akhirnya, KH Imam Mursyid menyerah sebab kalau melawan diancam pesantrennya akan dibakar dan keluarganya dihabisi. Padahal KH Imam Mursyid inilah yang turut berjasa membantu KH Wahid Hasyim, anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) merumuskan konsep Piagam Jakarta yang kemudian menjadi Mukadimah UUD 1945. Karena itu, Mukadimah UUD 1945 itu sangat bernuansa religius, suatu hal yang tidak disukai oleh PKI.
Pada sore dan malam harinya beberapa kiai lainnya juga mengalami nasib yang sama. Saat itu juga para pejabat pemerintah diculik dan dibunuh oleh PKI.
PKI tahu selama ini pesantren merupakan saingan kuatnya dalam melakukan revolusi sosial karena pesantren jauh lebih dipercaya ketimbang PKI yang hanya ditakuti. Karena itu untuk mengawali revolusi sosialnya, maka didahului dengan melumpuhkan pesantren. Dengan demikian, PKI bisa melumpuhkan penyangga kekuatan negara Indonesia.
Pembantaian Kiai oleh PKI
Penangkapan para pengasuh pesantren terus dilanjutkan, maka pada 19 September 1948, KH Muhammad Nur ditangkap, termasuk kiai pesantren seperti Ustadz Ahmad Baidlowi, Muhammad Maidjo, Rofi’i Tjiptomartono dan lain-lain. Para kiai tersebut dibantai dimasukkan sumur bersama ratusan korban lainnya.
Keseluruhan kiai di lingkungan pesantren Takeran yang menjadi korban sejumlah 14 orang. Karena jumlahnya banyak, mereka diikat menjadi satu sehingga mudah digiring ke lubang pembantaian. Mereka tidak diikat dengan rantai, melainkan dengan tali kulit bambu yang sangat tajam sehingga jika mereka bergerak kulit mereka tersayat.
Pesantren lain seperti pesantren Burikan juga dibakar oleh Front Demokrasi Rakyat (FDR) PKI. Sementara kiainya ditangkap, seperti K Keang, K Malik dan Mulyono semuanya dibantai dan dimasukkan lubang pembantaian yang sudah mereka siapkan. Harta benda mereka dirampas, berbagai kitab dibakar, sehingga santri bubar, menyelamatkan diri kembali ke kampung halaman masing-masing atau mengungsi ke daerah lain.
Pesantren makin sepi...