Jumat 22 Sep 2023 10:32 WIB

Ulama dan Pesantren Takeran: Inilah Salah Satu Penyebab Trauma Umat Islam kepada PKI

PKI bermula dari perpecahan di kalangan Sarekat Islam

Wisatawan menikmati suasana di objek wisata Monumen Korban Keganasan PKI di Desa Kresek, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, Selasa (1/6/2021). Sebagian warga memanfaatkan libur Hari Lahir Pancasila untuk berwisata di objek wisata yang berada di kaki Gunung Wilis tersebut.
Foto:

Jadi tak usah terkejut dan bingung ketika trauma konflik berdarah-darah kaum Muslim terhadap pengikut komunis tetap lestari atau laten sampai hari ini. Bayangkan, bila dilacak konflik ini sudah menginjak satu abad, yaitu semenjak para anggota Sarekat Islam Merah melakukan rapat-rapat di rumah  joglo milik saudagar kaya, H Rofi’i di Kotagede, Yogyakarta,  yang kini dikenal warga sebagai rumah Ropingen.

Seperti ditulis di bagian pertama, pada awalnya, anak muda SI merah itu menganggap para seniornya di Sarekat Islam (kemudian disebut SI Hijau) kurang membela rakyat, dan terlihat pula kurang revolusioner atau radikal di dalam melawanan penjajah Belanda. Ini karena saat itu SI memilih masuk ke dewan rakyat (Volks Raads) bentukan pemerinah kolonial Belanda. Langkah Cokroaminoto dianggap lamban. Dan ini makin menggebu setelah pengaruh ajaran komunis yang dibawa ke Henk Sneevliet dari Belanda kemudian bisa masuk ke organisasi massa yang kala itu punya masa dan kepengurusan terbesar di Hindia Belanda.

Pada masa awal itu banyak sekali tokoh Sarekat Islam masuk ke SI. Satu di antaranya adalah H Misbah, saudagar kaya asal Solo yang kala itu juga kader Muhammadiyah. Ia terpengaruh dengab SI merah, bahkan menjadi pengikutnya dan oleh pemerintah Hindia Belanda dianggap sebagai salah satu otak pemberontakan PKI 1926. Misbah kemudian di buang di Digul, Papua dan meninggal di sana.

Dan memang letupan pertama dari percikan konflik antara PKI dan Sarekat Islam kala itu masih biasa saja. Sekadar perang kata dan sibuk berbantah soal berbagai tuduhan, misalnya soal jalannya roda organisasi yang dikelola Cokro Amonioto.

Bahkan, pada awal pendirian PKI pun suasana unik. Kecenderungan ikon perjuangan lokal melawan penjajah yang pada awalnya pada awal 1900-an  mulai dimunculkan berkat Sarekat Dagang Islam dan Sarekat Islam, masih terbawa dalam Konngres PKI yang pertama di Semarang. Simbol perang Jawa, misalnya Pangeran Diponegoro dan Sentot Ali Basyah, gambarnya terpampang pada dinding gedung yang dipakai dalam konggres pertama PKI. Gambar Diponegoro dan Sentot kala itu beranding dengan gamar tokoh PKI misalnya Karl Marx, Lenin serta Stalin.

Namun, ketegangan makin hari makin bertambah. Menjelang pemberontakan PKI terjadi perpecahan internal dengan sosok seperti Tan Malaka. Ini lebih gegera karena para pengurus PKI kala itu melihat dia berubah haluan: lagi-lagi tak terlalu revolusiner. Sebelum itu pihak Komunis Internasional yang berpusat di Moskow marah karena Tan Malaka mengusulkan agar gerakan komunis menggandeng gerakan Islam ketika melawan penjahan. Perbedaan ini makin memuncak setelah Tan Malaka tidak setuju bila pada tahun 1926 PKI melakukan pemberontakan dengan alasan konsolidasinya belum kuat.

Dan setelah pemberontakan tersebut gagal, ternyata suasana persaingan antara Islam dan gerakan komunis masih terus berlangsung. Imbas lain, setelah peristiwa pemberontakan 1926 gagal, kala itu PKI kemudian menjadi partai terlarang dan para kadernya diawasi secara ketat oleh pemerintah Hindia Belanda. Dan situasi ini jelas menguntungkan bagi aktivis Islam yang lebih bisa bergerak leluasa karena bukan partai yang terlarang.

Lanjutkan membaca pada halaman berikutnya..

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement