Ahad 30 Jul 2023 16:33 WIB

Permintaan Maaf KPK di Kasus Basarnas Dinilai Rusak Misi Pemberantasan Korupsi

PBHI sebut permintaan maaf KPK soal kasus Basarnas merusak misi pemberantasan korupsi

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Bilal Ramadhan
Gedung KPK. PBHI sebut permintaan maaf KPK soal kasus Basarnas merusak misi pemberantasan korupsi.
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Gedung KPK. PBHI sebut permintaan maaf KPK soal kasus Basarnas merusak misi pemberantasan korupsi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) menyayangkan langkah KPK yang meminta maaf dan menyerahkan kasus dugaan korupsi Kabasarnas dan Koorsmin Kabasarnas kepada Puspom TNI. PBHI meyakini ini langkah yang dapat merusak pemberantasan korupsi di Indonesia. 

PBHI memandang KPK seharusnya menggunakan UU KPK sebagai landasan hukum dalam memproses militer aktif yang terlibat kejahatan korupsi. Sebab korupsi merupakan kejahatan yang tergolong tindak pidana khusus. PBHI meyakini KPK dapat mengabaikan mekanisme peradilan militer dengan dasar asas lex specialist derogat lex generalis (UU yang khusus mengenyampingkan UU yang umum). 

Baca Juga

"Dengan demikian KPK harusnya mengusut kasus ini hingga tuntas dan tidak perlu meminta maaf," kata Ketua PBHI Julius Ibrani dalam keterangannya yang dikutip pada Ahad (30/7/2023). 

PBHI menduga permintaan maaf dan penyerahan perkara kedua prajurit tersebut kepada Puspom TNI hanya akan menghalangi pengungkapan kasus tersebut secara transparan dan akuntabel.

"Permintaan maaf dan penyerahan proses hukum keduanya tersebut bisa menjadi jalan impunitas bagi keduanya," lanjut Julius.

PBHI menyoroti peradilan militer dalam UU No. 31 tahun 1997 merupakan sistem hukum yang eksklusif bagi prajurit militer yang terlibat tindak kejahatan. Aturan itu disinyalir menjadi sarana impunitas bagi mereka yang melakukan tindak pidana. 

Padahal dalam pasal 65 ayat (2) UU TNI sendiri mengatakan bahwa “Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.”

"Terkait penetapan tersangka yang dilakukan oleh KPK terhadap KaBasarnas RI dan Koorsmin Kabasarnas ini tentunya hal tersebut sudah benar karena dilakukan sebagai tindak lanjut dalam suatu operasi tangkap tangan bersama dengan masyarakat sipil lainnya sesuai ketentuan hukum yang berlaku, yaitu mentersangkakan pemberi suap dan penerima suap," ucap Julius. 

Selain itu, PBHI mengingatkan kalau KPK tidak mentersangkakan Kabasarnas dan anak buahnya maka kasus ini akan makin aneh. Pasalnya, dalam perkara ini mereka berdua diduga sebagai penerima suap. 

"Mereka yang sudah menjadi tersangka tidak bisa mendalilkan bahwa penetapan tersangka terhadap mereka hanya bisa dilakukan oleh penyidik di institusi TNI karena dugaan korupsi ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan institusi TNI dan kepentingan militer," ucap Julius. 

Sebelumnya, KPK mengakui adanya kekhilafan dalam menetapkan status tersangka terhadap Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi dan Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto terkait kasus suap pengadaan barang di Basarnas. Lembaga antirasuah ini menyebut, proses penetapan itu harusnya ditangani oleh pihak TNI.

"Dalam pelaksanaan tangkap tangan itu ternyata tim menemukan, mengetahui adanya anggota TNI dan kami paham bahwa tim penyelidik kami mungkin ada kekhilafan, kelupaan, bahwasannya mana kala ada melibatkan TNI harus diserahkan kepada TNI, bukan kita yang tangani. Bukan KPK," kata Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak dalam konferensi pers usai menemui rombongan Puspom TNI di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (28/7/2023).

KPK menggelar operasi tangkap tangan (OTT) terkait dugaan suap pengadaan barang di Basarnas pada Selasa (25/7/2023). Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto terjaring dalam operasi senyap tersebut.  

Kemudian, dalam konferensi pers pada Rabu (26/7/2023) KPK mengumumkan Marsdya Henri dan Letkol Afri sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Namun, Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Marsda Agung Handoko menilai, penetapan status hukum tersebut menyalahi aturan lantaran pihak militer memiliki aturan khusus dalam menetapkan tersangka bagi prajurit TNI yang melanggar hukum.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement