Sabtu 22 Jul 2023 03:56 WIB

63 Tahun Korps Adhyaksa: Berkelahi Melawan Koruptor Kelas Kakap

Kepercayaan publik terhadap Kejaksaan Agung sangat tinggi.

Jaksa Agung RI ST Burhanuddin (kiri) bersama Menteri BUMN Erick Thohir (kanan) usai menggelar pertemuan di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (6/3/2023). Kejaksaan Agung telah menyerahkan aset-aset Jiwasraya atau PT Asuransi Jiwasraya (persero) berupa surat berharga senilai Rp 3,1 triliun kepada Kementerian BUMN.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Jaksa Agung RI ST Burhanuddin (kiri) bersama Menteri BUMN Erick Thohir (kanan) usai menggelar pertemuan di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (6/3/2023). Kejaksaan Agung telah menyerahkan aset-aset Jiwasraya atau PT Asuransi Jiwasraya (persero) berupa surat berharga senilai Rp 3,1 triliun kepada Kementerian BUMN.

Oleh : M. Nasir Djamil, Anggota Komisi Hukum DPR RI dari PKS.

REPUBLIKA.CO.ID, Tahun 2023 ini insan Adhyaksa kembali merayakan tahun berdirinya yang ke-63. Berasal dari  bahasa Sansekerta,  istilah Adhyaksa bermakna pengawas luhur atau hakim tertinggi. Arti lain juga menyebutkan bahwa ia adalah pengawas yang ditunjuk oleh raja. Dahulu kala, semasa Kerajaan Majapahit, istilah Adhyaksa ini disematkan kepada kepala divisi untuk mempermudah birokrasi.  Selain itu, ia juga bertugas, salah satunya, menetapkan jalan yang benar untuk kebijakan raja. Seiring dengan lenyapnya Kerajaan Majapahit dan evolusi bahasa Jawa, istilah Adhyaksa atau Dhyaksa berubah menjadi “jeksa” yang kemudian diserap dalam bahasa Indonesia menjadi  “jaksa".

Adapun penetapan Hari Kejaksaan didasarkan  pada rapat kabinet  tanggal 22 Juli 1960 dalam Surat Keputusan Presiden  RI  1 Agustus 1960 Nomor 204/1960. Lalu disahkan menjadi UU Nomor 15 Tahun 1961 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia. Di  masa Soeharto, alas hukumnya berubah menjadi UU Nomor 5 Tahun 1991. Di masa reformasi, berubah kembali menjadi UU Nomor 16 Tahun 2004. Terakhir, regulasi yang mengatur para penuntut itu berubah menjadi UU Nomor 11 tahun 2021. Dalam menjalankan kewenangannya, Korps Adhyaksa bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lainnya.

Hingga kini, organisasi vertikal yang dipimpin oleh Jaksa Agung ini terus berusaha meraih kepercayaan publik. Kaidah yang menyebutkan, “setiap masa ada orangnya dan setiap orang ada masanya”, masih relevan jika kita hubungkan dengan pembenahan di tubuh kejaksaan. Karena Jaksa Agung dipilih dan ditunjuk langsung oleh Presiden, itulah yang membuat publik hingga hari ini belum 100 persen percaya bahwa Jaksa Agung tidak “didikte” oleh kekuasaan, baik itu Presiden ataupun kekuatan politik yang berkoalisi dengan penguasa. Karena itu penegakan hukum kasus-kasus korupsi pun masih menyimpan tanda tanya. Apakah itu  bagian dari “invisible hand” dari penguasa untuk memukul lawan politik atau juga ingin “menjinakkan” kawan yang masih melawan agar mengikuti kemauan penguasa.

Menjawab keraguan di atas, jajak pendapat yang dirilis lembaga survei Indikator  pada Juni lalu menempatkan Kejaksaan berada di nomor urut tiga setelah TNI dan Presiden. Poling yang bertema “Evaluasi Publik Atas Kinerja Lembaga Penegak Hukum dan Perpajakan” itu menyebutkan 9,7 persen sangat percaya kepada Kejaksaan, 71,5 persen cukup percaya, 13,6 persen kurang percaya, 0,5 persen tidak percaya sama sekali, dan sebesar 4,7 persen  tidak menjawab. Tren tingkat kepercayaan publik dalam hal pemberantasan korupsi, Kejaksaan mendekati angka  80 persen. Posisi Kejaksaan dalam survei tersebut di atas Polri dan KPK.

Boleh jadi, Jaksa Agung sumringah terhadap hasil jajak pendapat itu.  Apalagi selama setahun terakhir ini, total ada 1.689 perkara korupsi yang ditangani Kejaksaan dan kerugian negara senilai Rp 26,4 triliun telah dikembalikan kepada negara. Jelas ini bukan angka kecil. Pertanyaannya, apakah hasil itu buah dari menjalankan hukum dengan hati nurani, profesionalisme dan berintegritas?  Hanya para jaksa yang bisa menjawabnya. Begitupun, jika  mencermati  pernyataan-pernyataan Jaksa Agung selama menjabat,  patut diduga adanya korelasi dengan hadirnya kepercayaan publik tersebut.

Adhyaksa Perkasa

Awal penunjukan Burhanuddin menjadi Jaksa Agung meragukan publik. Di samping  mantan Jamdatun di Kejaksaan Agung, Burhanuddin adalah saudara kandung TB Hasanuddin, anggota DPR RI Fraksi PDIP. Sehingga publik memperkirakan waktu itu Burhanuddin akan menjadi  bagian dari “industri hukum”. Apalagi di negeri ini hukum belum menjadi panglima. Transaksional dan “tukar guling” kasus kerap mewarnai penegakan hukum. Tentu saja anggapan ini tidak bisa dianggap salah mengingat jabatan Jaksa Agung adalah “pemberian” Presiden yang juga “petugas partai” PDI Perjuangan.

Namun anggapan itu tidak sepenuhnya benar.  Dengan mudah publik bisa mengetahui bahwa pada tahun2022 lalu, Kejagung menuntut delapan kasus korupsi kelas kakap yang merugikan keuangan dan perekonomian negara lebih dari Rp 144 triliun. Kedelapan kasus korupsi jumbo itu adalah pertama, korupsi penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional, kedua , pengadaan pesawat pada PT Garuda Indonesia, ketiga,  pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO), keempat, penyimpangan dan atau penyelewengan di PT Waskita Beton Precast, kelima, korupsi giat usaha perkebunan kelapa sawit oleh PT Dulta Palma Group, keenam, penyalahgunaan fasilitas kawasan Berikat pada Pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Emas, ketujuh, kasus impor besi atau baja yang melibatkan sejumlah korporasi,  dan kedelapan adalah kasus korupsi proyek pembangunan pabrik blast furnance oleh PT Krakatau Steel.

Kini yang sedang bergulir adalah kasus korupsi “base transceiver station” (BTS) di Kementerian Komunikasi dan Informatika. Mantan menteri Johnny Plate  serta Dirut Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi Anang Achmad Latif, dan Irwan Hermawan dari pihak swasta telah menduduki kursi pesakitan. Kini muncul berita baru  soal uang ratusan miliar yang konon akan digunakan untuk menutup kasus ini dengan cara “mendekati’ orang dalam Kejagung.  Tidak asap tanpa api. Publik pun mendesak agar Jaksa Agung berani untuk mengusut dugaan penyuapan kepada  “orang kuat” di Kejagung agar skandal BTS itu bisa ditutup.

Boleh jadi ini adalah cara koruptor “strike back” kepada Kejagung. Karena itu agar bisa mengungkap  dugaan “uang setan dimakan jin” dan Kejagung tidak menjadi sarang penyamun, kasus ikutan soal dugaan suap yang telah berhasil mengumpulkan uang sekitar Rp 243 miliar wajib diusut.  Ini dimaksud agar tidak ada pihak manapun, baik internal dan eksternal Kejagung yang menutup fakta-fakta hukum dalam kasus tersebut.

Masih urusan dengan korporasi, menjelang sepekan hari kelahirannya, Kejagung menduga kebijakan Menko Perekonomian Airlangga Hartanto telah rugikan negara Rp 6,47 triliun dalam kasus korupsi CPO dan produk turunannya seperti minyak goreng. Ketua Umum Golkar itu pun akan diperiksa sebagai saksi untuk kepentingan penyidikan perkara. Kasus ini adalah lanjutan perkara tindak pidana korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO. Perkara ini memang sudah inkarnasi (tetap) di tingkat kasasi. Kasus ini juga telah menyeret tiga korporasi yakni Wilmar Group, Musim Mas Group dan Permata Hijau Group.

Pemidanaan terhadap tiga korporasi itu adalah bagian untuk menjawab bahwa korporasi bukanlah sebagai fiksi hukum (artificial person) dan pakem yang menyebutkan bahwa ia tidak memiliki “judicial capacity” dan “mens rea” (They have no body  to be kicked and no soul to be condemned) dengan segala konsekuensinya  dalam hukum pidana. Langkah memidanakan tiga korporasi itu juga dalam rangka mendayagunakan hukum pidana lebih instrumental dan untuk misi pencegahan efektif (deterrent effect) terhadap semua tindak pidana korporasi ke depan; bersifat “just retribution” dan melindungi korban (baca:konsumen).

Moralitas Adhyaksa

Tentu saja dengan keberhasilan menuntut hingga terdakwa tipikor dihukum dan pengembalian uang kerugian negara  patut kita apresiasi. Begitupun, Korps Adhyaksa ini juga dituntut untuk tidak menjadikan hukum sebagai alat kemungkaran. Sebab publik membutuhkan hukum yang adil. Maka kepastian hukum pun, harus diusahakan sebagai “kepastian yang berkeadilan”. Manfaat hukum juga harus diusahakan sebagai “manfaat yang berkeadilan”.

Institusi hukum seperti kejaksaan haruslah selalu menggendong kehormatan yang menuntut tanggung jawab untuk setia menjalankan tugas menuntut terhadap setiap pelanggaran hukum. Kewenangan yang diberikan Undang-Undang, wajib di jalankan dalam koridor dan batas-batas kewenangan. Mereka tidak boleh berbuat lain diluar kewenangan legal yang diberikan, termasuk tidak boleh membiarkan impunitas. Tindakan-tindakan korup dalam bentuk apapun, merupakan bentuk pengkhianatan terhadap tugas sebagai hamba hukum.

Moralitas lainnya adalah menghindari dan mencegah hadirnya mafia hukum di internal kejaksaan. Jejaring mafia hukum sangat rapi dan kerap melibatkan aparat penegak hukum. Mereka bisa mengatur dan menentukan putusan hukum pada berbagai level. Sampai-sampai nasib keadilan ditentukan bagaimana mafia hukum berpikir tentang hukum.  Pimpinan kejaksaan di semua level diharapkan mampu menjaga agar moralitas tidak absen dalam keseharian mereka. Apabila moralitas ini tidak ada, akan terjadi pengabaian hukum (diregarding the law), ketidakhormatan pada hukum (disrespecting the law), sampai pada penyalahgunaan hukum (misuse of the law).

Guna menjaga stabilitas moralitas adhyaksa dibutuhkan peran serta masyarakat untuk mengawasi mereka. Masyarakat yang melek hukum adalah prasyarat untuk itu. Tanpa adanya sikap kritis masyarakat akan membuat aparat penegak hukum kerap menyalahgunakan kekuasaan. Pernyataan Jaksa Agung Burhanuddin yang meminta masyarakat agar jangan segan-segan melaporkan oknum jaksa yang nakal patut kita apresiasi. Begitupun perlu langkah-langkah yang strategis agar “ekspektasi” ini bisa seperti gayung bersambut. Akhirnya, di negara hukum yang demokratis, nilai demokrasi dalam hukum tidak bersumber dari penguasa, melainkan dari,oleh, dan untuk rakyat. Ini adalah ujung tombak dari implementasi nilai-nilai demokrasi sebagai landasan perwujudan penegakan hukum yang mampu memberikan keadilan yang nyata bagi pencari keadilan khususnya dan rakyat umumnya. Selamat Hari Bakti Adhyaksa dan teruslah mengabdi untuk negeri. 

 
 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement