Kamis 20 Jul 2023 04:24 WIB

PBNU Apresiasi MA Larang Hakim Kabulkan Nikah Beda Agama

Kini pengadilan tak bisa mengesahkan Nikah Beda Agama.

Rep: Muhyiddin/ Red: Erdy Nasrul
Nikah harus dilakukan dengan pasangan yang menganut agama yang sama.
Foto: ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya
Nikah harus dilakukan dengan pasangan yang menganut agama yang sama.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Cholil Nafis mengapresiasi langkah Mahkamah Agung yang menerbitkan surat edaran (SE) berisi larangan terhadap hakim mengabulkan permohonan nikah beda agama. 

Larangan itu tertuang dalam Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat Beragama yang Berbeda Agama dan Kepercayaan.

Baca Juga

"Saya mengapresiasi SEMA ini yang telah memberi kepastian hukum. Nikah beda agama itu menurut Islam yang tertuang dalam keputusan ormas Islam Indonesia tidak sah dan jangan dicatatkan. Atas dalih adminduk lalu dicatatkan seakan-akan sah. Jangan lakukan nikah beda agama," ujar Kiai Cholil dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Rabu (19/7/2023).

Dia mengatakan, larangan nikah beda agama itu merupakan sebuah upaya untuk menjaga entitas agama-agama, serta untuk membangun toleransi dan menghormati atar umat beragama. "Walhamdulillah negara telah hadir dengan baik melindungi agama-agama dengan SEMA yang melarang pencatatan nikah beda agama. Bravo MA," kata Kiai Cholil. 

Dengan adanya SEMA yang diterbitkan pada 17 Juli 2023 ini, hakim pengadilan kini tidak bisa mengesahkan perkawinan beda agama. Ini tercantum dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023.

SEMA tersebut diterbitkan untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan. Dengan demikian, para hakim harus berpedoman pada ketentuan dalam SEMA itu.

Pedoman pertama yaitu perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pedoman kedua, yakni pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan. SEMA tersebut ditandatangani oleh Ketua Mahkamah Agung RI Muhammad Syarifuddin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement