Ahad 02 Jul 2023 11:43 WIB

Pengamat Hukum Nilai Pemerintah Lambat Tangani Kasus Al Zaytun

Pernyataan Syekh Al Zaytun Panji Gumilang sudah sangat meresahkan masyarakat.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Erdy Nasrul
Sholat Idul Adha di Al-Zaytun dilakukan dengan menempatkan perempuan di barisan depan, serta shaf antar jamaah berjarak sekitar 1 meter.
Foto: istimewa/youtube Al-Zaytun official.
Sholat Idul Adha di Al-Zaytun dilakukan dengan menempatkan perempuan di barisan depan, serta shaf antar jamaah berjarak sekitar 1 meter.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Ari Wibowo, mengomentari soal langkah yang dilakukan pemerintah dalam menangani polemik Al Zaytun. Menurut dia, langkah pemerintah dalam menyelesaikan polemik tersebut cenderung lambat.

"Pernyataan-pernyataan kontroversi Panji Gumilang tidak sekali dua kali dilontarkan tetapi sudah berulang kali hingga menjadi viral. Menurut saya, penanganannya sangat lambat, beda dengan kasus-kasus serupa yang pernah terjadi sebelumnya seperti kasus Lia Eden, Yusman Roy, Ahmad Mushaddiq, dan lain-lain yang penanganannya bisa cepat," kata Ari kepada Republika.co.id

Baca Juga

Ia menilai pernyataan Syekh Al Zaytun Panji Gumilang sudah sangat meresahkan masyarakat. Sehingga jika tidak segera ditangani, berpotensi terjadi perbuatan main hakim sendiri karena masyarakat tidak akan percaya lagi dengan negara.

"Sulit dimengerti mengapa begitu lambat ditangani, padahal pernyataan-pernyataannya sudah jelas menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam dan sebagian mengandung penodaan terhadap agama," ucapnya.

Pernyataan seperti khatib boleh perempuan, haji boleh di Indonesia, merupakan bentuk penafsiran yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam karena shalat dan haji merupakan ibadah mahdhah yang tata cara, kadar, dan waktunya sudah ditentukan dalam nash. Menurut dia, dalam hal ini Panji Gumilang melanggar Pasal 1 UU Nomor 1/PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. 

"Ini yang biasa dikenal sebagai larangan menyebarkan ajaran sesat. Sesuai ketentuan UU, harus diawali dengan peringatan berdasarkan keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri. Jika sudah diperingatkan tapi masih jalan, baru bisa diproses pidana," ujarnya.

Ia menambahkan, pernyataan Panji Gumilang yang bisa tergolong masuk ke dalam pasal penodaan agama misalnya pernyataannya yang menyebut jika Allah berbahasa Arab, nanti susah bertemu orang Indramayu. Ari mengatakan penodaan dalam Pasal 156a berarti penghinaan, dan jelas pernyataan tersebut menghina Allah. 

"Untuk pelanggaran ini tidak diperlukan peringatan tetapi bisa langsung diproses pidana," kata dia.

Namun, meski lambat tetapi upaya yang dilakukan pemerintah melalui Menkopolhukam tetap patut diapresiasi. Tiga langkah yang diambil pemerintah dinilai sudah komperhensif yang mencakup pidana, sanksi administratif, dan kondusivitas masyarakat.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement