Rabu 10 May 2023 16:29 WIB

Moderasi Manasik Haji dan Umroh Beri Keleluasaan Bagi Jamaah

jamaah haji dapat memilih pendapat ulama yang kuat.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Muhammad Hafil
Moderasi Manasik Haji dan Umroh Beri Keleluasaan Bagi Jamaah. Foto: Mantan Direktur Pembinaan Haji Kementerian Agama (Kemenag), KH Ahmad Kartono dalam kegiatan Edukasi MCH 1444 H di Jakarta, Selasa (9/5/2023) malam. Dia menjelaskan dalil dan landasan hukum jamaah haji lansia, sakit, risiko tinggi dan disabililitas mendapat kemudahan atau keringanan dalam beribadah.
Foto: Dok MCH 2023
Moderasi Manasik Haji dan Umroh Beri Keleluasaan Bagi Jamaah. Foto: Mantan Direktur Pembinaan Haji Kementerian Agama (Kemenag), KH Ahmad Kartono dalam kegiatan Edukasi MCH 1444 H di Jakarta, Selasa (9/5/2023) malam. Dia menjelaskan dalil dan landasan hukum jamaah haji lansia, sakit, risiko tinggi dan disabililitas mendapat kemudahan atau keringanan dalam beribadah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ibadah haji adalah satu satu rukun Islam, bagi seorang Muslim hukumnya wajib melaksanakan haji jika mampu atau istitha'ah. Namun bagaimana jika seseorang yang lanjut usia (lansia), sakit, risiko tinggi (risti) dan disabilitas ingin melaksanakan ibadah haji.

Mantan Direktur Pembinaan Haji Kementerian Agama (Kemenag), KH Ahmad Kartono menjelaskan, dalam pelaksanaan ibadah termasuk ibadah haji terdapat amalan ibadah yang digolongkan dalam kategori rukhsah atau mendapat kemudahan dan keringanan.

Baca Juga

Ia menjelaskan, amalan yang rukhsah tersebut dikemukakan para fuqaha atau ahli fikih. "Artinya jamaah haji dapat melakksanakan fikih sesuai kemampuan atau kesanggupannya," kata Kiai Kartono dalam kegiatan Edukasi MCH 1444 H di Jakarta, Selasa (9/5/2023) malam.

Kiai Kartono menyampaikan, jamaah haji dapat memilih pendapat ulama madzhab yakni pendapat yang Arjah artinya pendapat lebih kuat dan mayoritas atau pendapat yang Rajih artinya pendapat yang kuat. Bahkan bisa juga memilih pendapat yang Marjuh artinya pendapat yang lemah. Inilah yang dimaksud moderasi dalam kontek manasik haji.

 

Kiai Kartono menjelaskan, moderasi manasik haji dan umroh memberikan keleluasaan bagi jamaah haji dalam melaksanaan amalan ibadah haji. Jamaah haji dapat memilih pendapat yang arjah, rajih atau marjuh.

"Jamaah haji dapat memilih pendapat yang arjah, rajih atau marjuh bagi jamaah haji yang memiliki udzur, baik karena sakit, dimensia (stres), lanjut usia (lansia), dan jamaah risiko tinggi (risti) yang akan mengalami kesulitan karena kondisi fisik mereka lemah untuk mengerjakan rukun dan wajib haji dengan sempurna seperti dalam pelaksanaan shalat, tawaf umrah, sa’I, wukuf, mabit di Muzdalifah, mabit di Mina, melontar jamarat, tawaf ifadah dan tawaf Wada," jelas Kiai Kartono.

Menurutnya, moderasi dalam kontek manasik merupakan jalan keluar sebagai solusi untuk membantu jamaah haji yang udzur atau memiliki halangan. Supaya mereka tetap dapat melaksanakan ibadah dengan mudah dan sah secara hukum sebagaimana pendapat para fuqaha dalam empat madzhab, yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.

Kiai Kartono juga menjelaskan berbagai pendapat para ahli fikih atau fuqaha.

"Bahwa sesungguhnya diperbolehkan taklid (mengikuti) pendapat dari salah satu Imam madzhab yang empat (yakni Syafi’i, Maliki, Hanafi, Hambali), dan setiap orang boleh saja mengikuti salah satu dari pendapat mereka dalam satu masalah dan mengikuti pendapat imam lainnya dalam masalah yang lain. Tidak ada ketentuan yang mengharuskan mengikuti satu Imam Mazhab dalam semua masalah. Jika engkau telah mengetahui ketentuan ini maka sudah benar setiap masalah haji yang disebutkan (diputuskan) berdasarkan salah satu pendapat para Imam Madzhab." (al-Ifshoh ‘ala-Masailil Idhoh ‘alal-Madzahib al-Arba’ah, hal. 219).

"Berpaling atau mengganti dari qaul (pendapat) yang rajih ke pendapat yang marjuh. Sebagaimana dikemukakan Dr. H. Abd. Salam sebagai berikut: Pendapat marjuh adalah beberapa kaul/ pendapat yang dalilnya lemah atau hanya disampaikan oleh seorang ulama atau pendapat yang bertentangan dengan pendapat mayoritas (jumhur) ulama."

"Turun kepada realitas yang lebih rendah ketika tidak mungkin melakukan yang ideal." (KH. Afifuddin Muhajir, Fiqih Tata Negara, Yogyakarta, 2017, hal. 196).

"Hukum itu dapat berubah dengan berubahnya tempat dan masa atau karena perubahan situasi dan kondisi."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement