Kamis 16 Mar 2023 19:30 WIB

Mungkinkah Ormas Islam Bersatu untuk Kalender Hijriyah Indonesia?

Proses penyatuan kalender hijriyah di Indonesia masih terus diupayakan.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Muhammad Hafil
Mungkinkah Ormas Islam Bersatu untuk Kalender Hijriyah Indonesia?. Foto: Awal bulan baru kalender Hijriyah didasarkan pada pergerakan bulan. Ilustrasi
Foto: .
Mungkinkah Ormas Islam Bersatu untuk Kalender Hijriyah Indonesia?. Foto: Awal bulan baru kalender Hijriyah didasarkan pada pergerakan bulan. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Astronomi dan Astrofisika pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (Lapan-BRIN), yang juga anggota Tim Unifikasi Kalender Hijriyah Kementerian Agama, Prof Thomas Djamaluddin, menyampaikan penjelasan soal progres unifikasi kalender hijriyah Indonesia. Hingga kini, proses penyatuan kalender hijriyah masih terus diupayakan.

"Terkait upaya unifikasi kalender hijriyah di tingkat nasional, dulu itu sudah diupayakan untuk menyatukan kriteria. Dan kriteria ini adalah salah satu, atau sebetulnya dapat disebut sebagai satu-satunya cara untuk mempertemukan antara pengamal hisab dan rukyat yang secara fiqih itu berbeda tetapi keputusannya bisa satu jika kriterianya sama," kata dia di Gedung BJ Habibie, Jakarta, Kamis (16/3/2023).

Baca Juga

Prof Thomas mengakui, upaya menyatukan kriteria ini memang proses panjang. Mulai dari penggunaan kriteria ijtima qoblal ghurub, lalu kriteria wujudul hilal, hingga berkembang menjadi kriteria imkan rukyat, yang juga disebut sebagai kriteria visibilitas hilal. Kriteria terakhir ini yaitu tinggi bulan minimal 2 derajat, elongasi 3 derajat, dan umur bulan 6 jam.

Dengan kriteria itu saja, menurut Prof Thomas, masih sering terjadi perbedaan. Ini karena masih ada ormas Islam yang bersikukuh menggunakan kriteria wujudul hilal. Sedangkan ormas-ormas lain sudah bersepakat untuk menggunakan kriteria imkan rukyat.

Menteri-menteri agama dari sejumlah negara, yang tergabung dalam Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), pun telah mengkritisi kriteria 2 derajat atau yang biasa disebut kriteria 238. Sebab, kriteria 238 ini terlalu rendah.

"Tidak mungkin hilal bisa teramati kalau posisinya rendah, sehingga mulai dari tahun 2014, itu sudah mulai dikritisi. Kemudian dikaji dan akhirnya pada 2015, tim teknis MABIMS menyetujui kriteria baru yaitu tinggi (bulan) minimal 3 derajat, elongasi 6,4 derajat. Sedangkan implementasinya di tingkat pemerintah dan menteri agama itu baru pada Desember 2021. Jadi ini sudah progres di tingkat regional, sudah ada kesepakatan itu," kata dia.

Selanjutnya, pada tahun 2022, pemerintah menerapkan kriteria tersebut di Indonesia. Kemudian, Nahdlatul Ulama (NU) juga telah mengubah kriterianya dan menggunakan kriteria yang sama dengan kriteria MABIMS. NU menyebutnya Imkan Rukyat Nahdlatul Ulama (IRNU).

Prof Thomas juga menekankan, metode hisab dengan kriteria apapun, itu sebetulnya bisa memberikan kepastian misalnya untuk 1.000 tahun lamanya maupun 100 tahun. Meski, dalam perkembangannya tentu akan ada perubahan. Namun, secara prinsip, itu bisa dihitung.

"Jadi bukan hanya wujudul hilal yang bisa memberi kepastian. Model kriteria yang baru ini mau untuk 10 tahun ke depan itu bisa. Kriteria itu kan soal batas minimum. Kalau tinggi bulan, elongasi bulan, kan sudah bisa dihitung, sampai dengan sekian lama ke depan juga bisa. Hanya masalah kriterianya itulah yang membedakan," kata dia.

Hingga saat ini, upaya penyatuan kalender hijriah Indonesia masih terus dilakukan. Prof Thomas melihat, Kementerian Agama selalu mengupayakan dialog. Setiap tahun pun ada pertemuan untuk melakukan sinkronisasi. "Jadi terus dilakukan (upaya unifikasi ini)," tuturnya.

Untuk diketahui, dalam kriteria MABIMS ini, ketinggian bulan minimal 3 derajat dan elongasi minimal 6,4 derajat. Elongasi minimal 6,4 derajat didasarkan pada rekor bulan terdekat sebagaimana yang dilaporkan dalam makalah Mohammad Shawkat Odeh, salah seorang tokoh falak Internasional.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement