Peneliti BRIN Ungkap Penyebab Perbedaan Awal Ramadhan Berulang

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Erdy Nasrul

Kamis 16 Mar 2023 16:45 WIB

Petugas mengamati posisi hilal menggunakan teropong saat pelaksanaan Rukyatul Hilal di Pantai Jerman, Kuta, Badung, Bali, Rabu (29/6/2022). Pengamatan posisi bulan yang dilakukan untuk menentukan awal bulan Zulhijah dan Idul Adha 1443 H/2022 M di pantai tersebut tidak berhasil melihat hilal karena kondisi cuaca berawan serta ketinggian hilal yang masih terlalu rendah. Foto: ANTARA/Fikri Yusuf Petugas mengamati posisi hilal menggunakan teropong saat pelaksanaan Rukyatul Hilal di Pantai Jerman, Kuta, Badung, Bali, Rabu (29/6/2022). Pengamatan posisi bulan yang dilakukan untuk menentukan awal bulan Zulhijah dan Idul Adha 1443 H/2022 M di pantai tersebut tidak berhasil melihat hilal karena kondisi cuaca berawan serta ketinggian hilal yang masih terlalu rendah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perbedaan penentuan awal Ramadan dan hari raya masih kerap diperdebatkan hingga saat ini. Peneliti Astronomi dan Astrofisika BRIN, Thomas Djamaluddin, mengatakan, perbedaan muncul bukan karena metode hisab yang berupa perhitungan dan rukyat yang berupa pengamatan, tetapi karena perbedaan kriteria. Untuk itu, penentuan awal bulan memerlukan kriteria agar bisa disepakati bersama.

"Rukyat memerlukan verifikasi kriteria untuk menghindari kemungkinan rukyat keliru. Hisab tidak bisa menentukan masuknya awal bulan tanpa adanya kriteria. Sehingga, kriteria menjadi dasar pembuatan kalender berbasis hisab yang dapat digunakan dalam prakiraan rukyat," ujar Thomas di Jakarta, Kamis (16/3/2023).

Baca Juga

Thomas menjelaskan, kriteria hilal yang diadopsi adalah kriteria berdasarkan pada dalil syar'i alias hukum agama tentang awal bulan dan hasil kajian astronomis yang sahih. Menurut dia, kriteria juga harus mengupayakan titik temu pengamal rukyat dan pengamal hisab untuk menjadi kesepakatan bersama. Termasuk juga Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS).

Dia juga mengatakan, pada 2023 ada potensi kesamaan awal Ramadan. Itu dapat terjadi apabila saat Maghrib pada 22 Maret 2023 mendatang di Indonesia posisi bulan sudah memenuhi kriteria baru MABIMS, yaitu dengan tinggi minimal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat (3-6,4). Pada pada saat yang bersamaan posisi bulan juga sudah memenuhi kriteria Wujudul Hilal (WH).

"Sehingga, dua kriteria tersebut menjadi seragam, baik versi 3-6,4 dan WH bahwa 1 Ramadan 1444 pada 23 Maret 2023," terang Thomas.

Thomas kemudian mengungkapkan adanya potensi perbedaan terkait Idul Fitri 1444. Dia menjelaskan, hal itu disebabkan karena pada saat maghrib 20 April 2023 ada potensi di Indonesia posisi bulan belum memenuhi kriteria baru MABIMS. Tapi di sisi lain, posisi bulan sudah memenuhi kriteria WH.

"Jadi, ada potensi perbedaan, yaitu versi 3-6,4, 1 Syawal 1444 pada 22 April 2023, sedangkan versi WH, 1 Syawal 1444 pada 21 April 2023," jelas dia.

Menurut Thomas, penyebab utama terjadinya perbedaan penentuan awal Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha yang terus berulang adalah karena belum disepakatinya kriteria awal bulan hijriah. Dia mengungkapkan, prasyarat utama untuk terwujudnya unifikasi kalender hijriah tersebut adalah harus adanya otoritas tunggal, yakni pemerintah, sehingga semua pihak di Indonesia dapat berpatokan pada otoritas tunggal tersebut.

"Otoritas tunggal akan menentukan kriteria dan batas tanggalnya yang dapat diikuti bersama. Sedangkan kondisi saat ini, otoritas tunggal mungkin bisa diwujudkan dulu di tingkat nasional atau regional. Penentuan ini mengacu pada batas wilayah sebagai satu wilayah hukum sesuai batas kedaulatan negara. Kriteria diupayakan untuk disepakati bersama," kata Thomas.