Senin 06 Mar 2023 18:55 WIB

Pakar: Kasus Rafael Alun Bentuk Penyembunyian Aset dengan Rekayasa LHKPN

Pakar sebut kasus Rafael Alun bentuk penyembunyian aset dengan rekayasa LHKPN.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Bilal Ramadhan
Mantan Kepala Bagian Umum Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Selatan II, Rafael Alun Trisambodo (RAT) usai menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta (1/3/2023). Pakar sebut kasus Rafael Alun bentuk penyembunyian aset dengan rekayasa LHKPN.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Mantan Kepala Bagian Umum Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Selatan II, Rafael Alun Trisambodo (RAT) usai menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta (1/3/2023). Pakar sebut kasus Rafael Alun bentuk penyembunyian aset dengan rekayasa LHKPN.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pakar kebijakan publik Universitas Aurlangga (Unair) Gitadi Tegas Supramudyo menilai, kasus eks pegawai Ditjen Pajak Rafael Alun Trisambodo dengan harta kekayaan tak wajar ibarat fenomena gunung es.

Artinya, kata dia, kepemilikan harta dengan nilai tak wajar di kalangan pejabat negara merupakan hal yang umum di Indonesia. Hanya saja, mereka yang terlibat mampu menutupinya dengan melakukan berbagai rekayasa.

Baca Juga

"Kalau kita lihat kasus ini, fakta yang muncul adalah bahwa aset-asetnya itu tidak atas namanya sendiri, tetapi atas nama orang lain atau keluarganya. Artinya, ini merupakan satu bentuk penyembunyian aset dengan rekayasa LHKPN," kata Gitadi, Senin (6/3).

Gitadi melanjutkan, mencuatnya kasus Rafael juga berimbas pada menurunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah, khususnya kementerian keuangan dan jajarannya. Bahkan ia menilai kadus tersebut akan memengaruhi pendapatan pajak negara.

"Logikanya, ketika public distrust meningkat kemudian terjadi penurunan keikhlasan dan kemauan untuk membayar pajak, tentu saja akan berpengaruh," ujar Gitadi.

Secara teori, lanjut Gitadi, pengaruh public distrust terhadap pendapatan pajak negara tidak akan terjadi secara berkepanjangan. Kendati demikian, Gitadi mengingatkan pemerintah untuk melakukan upaya-upaya maksimal guna memperbaiki tingkat kepercayaan publik terhadap instansinya.

"Jajaran pemerintah juga harus melakukan upaya-upaya maksimal untuk menambal dampak negatif terhadap masalah di institusi tersebut. itu bisa menjadi berkepanjangan jika tidak ada upaya konkret dari negara," kata Gitadi.

Gitadi pun berpendapat, munculnya kasus Rafael merupakan momentum yang tepat untuk melakukan reformasi dan redesain kebijakan, khususnya terkait LHKPN. Tujuannya agar tidak ada lagi kasus penggunaan nama orang lain atau penyamaran aset.

Dalam hal ini, para stakeholders harus juga bersinergi, misalnya saja dengan kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maupun kejaksaan untuk menelusuri aset dan kekayaan terduga.

Selain itu, kata dia, momentum ini juga sangat tepat untuk melakukan pemerataan keadilan bagi profesi lain sesuai dengan kontribusinya. Perlu diketahui bahwa setiap instansi memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing. Namun demikian, masih terjadi ketimpangan khususnya dalam hal anggaran dan tunjangan yang diterima.

"Jadi, menurut saya ini momentum penting untuk melakukan redesain dan reformasi, termasuk memeratakan keadilan bagi profesi lain yang juga memiliki kontribusi masing-masing, terutama di bidang pendidikan yang paling kentara kesenjangannya," kata Gitadi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement