Selasa 14 Feb 2023 15:21 WIB

Tak Peduli Protes Ribuan Warga Israel, Netanyahu Rombak Sistem Hukum

Netanyahu secara resmi meluncurkan rencana kontroversialnya untuk rombak sistem hukum

Rep: Amri Amrullah/ Red: Esthi Maharani
Puluhan ribu warga Israel pada Senin (13/2/2023) menggelar aksi demonstrasi di luar gedung parlemen Israel, Knesset untuk memprotes kebijakan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Pemerintah Netanyahu secara resmi meluncurkan rencana kontroversialnya untuk merombak sistem hukum.
Foto: EPA-EFE/ABIR SULTAN
Puluhan ribu warga Israel pada Senin (13/2/2023) menggelar aksi demonstrasi di luar gedung parlemen Israel, Knesset untuk memprotes kebijakan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Pemerintah Netanyahu secara resmi meluncurkan rencana kontroversialnya untuk merombak sistem hukum.

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Puluhan ribu warga Israel pada Senin (13/2/2023) menggelar aksi demonstrasi di luar gedung parlemen Israel, Knesset untuk memprotes kebijakan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Pemerintah Netanyahu secara resmi meluncurkan rencana kontroversialnya untuk merombak sistem hukum.

Demonstrasi yang riuh di luar Knesset, ditambah dengan pemungutan suara komite di dalam gedung, tampaknya memperdalam perpecahan politik akibat program Netanyahu. Rencana tersebut telah memicu protes massa selama berminggu-minggu, memicu kecaman dari sebagian besar masyarakat Israel dan menarik pernyataan keprihatinan dari Presiden AS, Joe Biden.

Netanyahu dan sekutunya mengatakan hakim yang tidak dipilih di negara itu memiliki terlalu banyak kekuasaan dan perlu dikendalikan. Lawan politik mengatakan bahwa Netanyahu, yang diadili atas tuduhan korupsi, memiliki konflik kepentingan yang mendalam ketika merombak hukum negara itu. Mereka mengatakan perombakan yang direncanakan akan menghancurkan check and balances demokrasi negara, dan upaya tersamarkan untuk menghilangkan kasus hukum dan kriminal yang telah diperbuat Netanyahu.

Demonstrasi hari Senin adalah yang terbesar yang terjadi di kota itu dalam beberapa tahun. Ribuan orang turun ke jalan di Yerusalem dari seluruh negeri dengan angkutan kendaraan dan kereta yang penuh sesak, mengibarkan bendera dan meneriakkan "demokrasi" saat mereka keluar dari stasiun.

“Mereka mendengar kami,” kata pemimpin oposisi Yair Lapid kepada massa sambil menunjuk ke arah parlemen. “Mereka mendengar kekuatan dan komitmen kami. Mereka berpura-pura tidak mendengar. Mereka berpura-pura tidak takut. Tetapi mereka mendengar dan mereka takut.”

Penggagas demonstrasi mengklaim bahwa lebih dari 100 ribu orang bergabung dalam demonstrasi. Mereka termasuk aktivis kelompok minoritas Arab, hak-hak perempuan dan LGBTQ serta partai oposisi. Mereka bergabung dengan kelompok akademisi, tentara cadangan, pelajar, karyawan teknologi tinggi, pensiunan, dan keluarga muda.

Demonstran ramai membunyikan terompet, meneriakkan “demokrasi”, bernyanyi dan bersiul. Namun peristiwa itu berlalu tanpa insiden dan bentrokan, pihak polisi juga mengatakan tidak ada penangkapan. Banyak pengunjuk rasa membawa bendera dan poster biru-putih Israel mengecam apa yang mereka katakan sebagai serangan terhadap institusi demokrasi negara itu. "Malu! Malu!" dan “Israel tidak akan menjadi kediktatoran,” teriak mereka.

“Rakyat tidak akan memilikinya,” kata Boaz Zarki, seorang demonstran di Yerusalem. “Pemisahan otoritas sangat penting bagi keberadaan demokrasi.”

Selain di Yerusalem, demonstrasi besar lainnya diadakan di kota-kota di seluruh negeri pendudukan Israel. Meskipun ada seruan dari presiden boneka Israel untuk membekukan undang-undang dan memulai dialog dengan oposisi, Netanyahu tetap melanjutkan programnya.

Saat pengunjuk rasa berkumpul di luar parlemen, komite parlemen yang dikendalikan oleh sekutu Netanyahu mengesahkan undang-undang pertama yang terkait dengan rencana tersebut. Mereka termasuk proposal untuk memberikan kendali legislatif yang didominasi Netanyahu atas penunjukan yudisial. Saat ini, hakim ditunjuk oleh komite independen yang terdiri dari pengacara, politisi, dan hakim.

Perombakan sistem hukum dalam proposal kedua Netanyahu, ialah akan menghilangkan kewenangan Mahkamah Agung. Arahnya untuk meninjau kembali legalitas atas undang-undang utama yang dikenal sebagai “Hukum Dasar.”

Masih dalam pengerjaan adalah proposal lain untuk memberi parlemen kekuatan untuk membatalkan keputusan Mahkamah Agung yang tidak disukainya. Para penentang mengatakan proposal itu akan mendorong Israel menuju sistem seperti Hungaria dan Polandia di mana pemimpin memegang kendali atas semua kontrol kekuasaan utama.

Selama pemungutan suara komite yang sulit diatur, anggota oposisi berdiri di meja konferensi, menggebrak meja dan berteriak “malu!” Ketua panitia, Simcha Rothman, seorang anggota partai agama sayap kanan, mengeluarkan beberapa politisi oposisi dari Knesset, setidaknya dua di antaranya diseret oleh petugas keamanan.

Pemungutan suara hari Senin mengirimkan undang-undang pertama ke parlemen penuh – yang harus mengesahkannya lagi dalam tiga pemungutan suara terpisah. Pemungutan suara pertama diharapkan berlangsung Senin depan. Netanyahu mengendalikan mayoritas yang kuat di parlemen, dan tampaknya hanya ada sedikit yang mencegahnya untuk terus maju dalam perombakan hukum ini.

Meski demikian, perkembangan hari Senin (13/2/2023), mengatur nada untuk apa yang mungkin ada di depan. Netanyahu menuduh oposisi "sengaja menyeret negara ke anarki," tetapi juga tampaknya menawarkan kemungkinan dialog dengan lawan-lawan politiknya.

“Tahan dirimu. Tunjukkan tanggung jawab dan kepemimpinan,” kata demonstran. “Mayoritas warga Israel tidak menginginkan anarki. Mayoritas warga menginginkan diskusi yang substantif, dan pada akhirnya, mereka menginginkan persatuan.”

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement