Selasa 31 Jan 2023 11:47 WIB

BI Ungkap PR yang Perlu Dikerjakan dalam Pengembangan Ekonomi Syariah

Bank Indonesia meluncurkan Kajian Ekonomi dan Keuangan Syariah (KEKSI) 2022.

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Ahmad Fikri Noor
Pengunjung mengamati produk-produk pada Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) 2022 di JCC Senayan, Jakarta, Rabu (5/10/2022). Bank Indonesia (BI) meluncurkan Kajian Ekonomi dan Keuangan Syariah (KEKSI) 2022.
Foto: Republika/Prayogi
Pengunjung mengamati produk-produk pada Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) 2022 di JCC Senayan, Jakarta, Rabu (5/10/2022). Bank Indonesia (BI) meluncurkan Kajian Ekonomi dan Keuangan Syariah (KEKSI) 2022.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) meluncurkan Kajian Ekonomi dan Keuangan Syariah (KEKSI) 2022. Dalam kajian tersebut, BI melaporkan sejumlah hal yang perlu dioptimalkan dalam menuju Indonesia sebagai pusat industri halal global. Terlebih, BI memprediksi ekonomi dan keuangan syariah terus tumbuh pada 2023.

"Ini bisa menopang upaya mewujudkan Indonesia sebagai pusat industri halal dunia," kata Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono dalam pernyataan tertulisnya, Senin (30/1/2022).

Baca Juga

Dalam KEKSI 2022, BI menyebutkan, Indonesia harus mampu mengoptimalkan semua potensi yang dimilikinya. Upaya optimalisasi tersebut membutuhkan pengetahuan tujuan destinasi dari pengembangan ekonomi syariah nasional dan posisinya saat ini.

BI mengungkapkan, secara umum kondisi ekonomi syariah nasional saat ini masih perlu dioptimalkan. Hal tersebut ditandai dengan masih rendahnya pertumbuhan usaha syariah, kecilnya pangsa pembiayaan syariah, dan masih belum signifikannya tingkat literasi ekonomi syariah masyarakat.

 

BI juga menyatakan, sertifikasi bagi produk halal yang dihasilkan oleh pelaku usaha saat ini belum terpenuhi secara maksimal. Selain itu, kualitas produk dan pelaku usaha masih harus ditingkatkan agar lebih kompetitif, perluasan outlet pasar produk halal terutama penetrasi produk halal Indonesia secara global, dan dukungan akses pembiayaan bagi pelaku usaha.

Sementara itu, BI juga mengungkapkan, masih belum signifikannya pangsa pembiayaan syariah. Hal tersebut menjadi tantangan utama untuk sektor keuangan syariah. Secara spesifik, BI menyebut pangsa pembiayaan syariah yang masih rendah disebabkan karena basis penabung yang masih terbatas. Selain itu, juga inovasi produk terbatas, jumlah debitur besar masih rendah, inovasi kebijakan belum memadai, basis investor keuangan sosial syariah belum kuat, serta model bisnis integrasi keuangan komersial dan sosial masih terbatas.

Di sisi lain, BI mencatat masih belum signifikannya tingkat literasi ekonomi syariah masyarakat. Hal tersebut diperkirakan karena upaya edukasi yang belum menjangkau semua segmen masyarakat, sinkronisasi strategi literasi antar lembaga masih minim, dan strategi komunikasi yang belum memadai.

BI mencatat, tingkat literasi masyarakat terhadap ekonomi syariah berdasarkan indeks literasi baru mencapai 20 persen pada 2022. Untuk menjadi pelaku utama dalam industri halal global, BI menegaskan, Indonesia perlu mendorong program edukasi yang berdampak masif.

Pertumbuhan ekonomi syariah nasional juga belum memuaskan dan tingkat literasi masyarakat yang masih rendah. Hal tersebut ditengarai karena penggunaan teknologi dan digitalisasi masih terbatas.

BI menyatakan, penggunaan teknologi digital saat ini menjadi faktor kunci bagi industri. Khususnya, bagi industri ekonomi syariah yang relatif masih baru jika dibandingkan dengan konvensional.

Selain itu, hingga saat ini belum tersedia indikator pengukuran capaian usaha syariah. Hal itu mengakibatkan belum dimilikinya data atau informasi yang memadai untuk membantu formulasi kebijakan.

BI melihat pengembangan ekonomi syariah saat ini sudah menjadi fokus banyak pihak khususnya kementerian dan lembaga pemerintah. BI menilai, agar upaya pengembangannya memberikan hasil yang signifikan maka perlu pendekatan sinergi dan kolaborasi yang begitu krusial.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement