Ahad 11 Dec 2022 09:19 WIB

Ketika Setan Menggoda di Tengah Lelahnya Menuntut Ilmu, Ingat Pesan Sang Sufi Ini

Menuntut ilmu agama di antara tanda Allah SWT kehendaki husnul khatimah

Rep: Erdy Nasrul / Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi menuntut ilmu. Menuntut ilmu agama di antara tanda Allah SWT kehendaki husnul khatimah
Foto: ANTARA/Adeng Bustomi
Ilustrasi menuntut ilmu. Menuntut ilmu agama di antara tanda Allah SWT kehendaki husnul khatimah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Menuntut ilmu merupakan salah satu ibadah sekaligus misi yang mulia. Namun, tak mudah dalam menunaikan misi ini. 

Suatu ketika, sufi Abu Yazid al-Busthami (804-874 M) berkata, dirinya telah bermujahadah selama 30 tahun, tetapi tidak pernah merasakan perjuangan yang lebih berat dari mencari ilmu dan mencegah bahaya yang mengikutinya. 

Baca Juga

Sufi tersebut berpesan, jangan sampai teperdaya setan yang berkata, “Jika sudah jelas akan ada bahaya besar dalam menuntut ilmu maka meninggalkan hal itu adalah lebih baik.”  

Al-Busthami berpesan, sebagaimana tertulis dalam Minhaaj al-'Aabidiin Imam al-Ghazali, Jangan sekali-kali engkau membenarkan bisikan setan tadi. Ada beberapa hal mendasar dalam ungkapan tersebut. Pertama adalah mujahadah. 

 

Ini adalah upaya tiada henti mengekang hawa nafsu, mencegah diri dari perbuatan yang memuaskan nafsu. 

Kemudian menggantinya dengan perbuatan baik yang menjadi jalan mendekati Allah SWT. Ini dilakukan dengan sembunyi, tanpa disertai sombong dan bangga diri di hadapan orang lain. 

Hal yang memuaskan nafsu terdiri atas hal yang boleh dilaksanakan, tapi bisa jadi membuat diri menjadi hina. Misalkan makan, itu adalah hal yang mubah. Namun, ketika dilakukan berlebihan maka akan menyebabkan kehinaan. 

Harta boleh untuk dimiliki, tapi ketika berlebihan, apalagi disertai syahwat bermewah-mewahan dan mengabaikan orang susah, maka ini menjadi kehinaan. 

Hal yang termasuk pemuas nafsu adalah dosa, apa pun bentuknya. Dorongan dalam diri untuk berbuat dosa pasti ada. 

Melihat orang lain memiliki barang mahal, nafsu kemudian mendorong diri ini untuk mencuri barang tersebut. Sekali dikerjakan, akan merasakan kepuasan, tapi ingat, juga akan disertai kehancuran. 

Mujahadah adalah upaya yang berkesinambungan mengekang nafsu, membatasi diri dari hal-hal tadi. Caranya dengan mengingat Allah SWT sehingga menumbuhkan motivasi mengamalkan kebajikan, kemudian mewujudkan hal itu dalam keseharian. 

Kedua adalah mencari ilmu. Kata yang sederhana, tapi pengerjaannya berproses panjang. Sering kita menyaksikan pencari ilmu, seperti siswa sekolah di banyak tempat. Juga santri pesantren yang terlihat semangat menghafalkan pelajaran. Mereka terlihat sudah sungguh-sungguh mencari cahaya Allah. Tapi, apakah hanya itu? Masih banyak yang harus mereka kerjakan. 

Semakin banyak ilmu dimiliki, semakin besar dorongan diri untuk bersombong. Merasa diri yang paling berilmu, sedangkan lainnya tidak. Itu adalah sifat yang berbahaya. Untuk mencegah bahaya satu itu, pencari ilmu harus menggiatkan ibadah, memperbanyak ingat kepada Allah SWT, duduk dalam kerendahan sambil mengagungkan asma Allah SWT. 

Ilmu dibarengi dengan ibadah, akan menjadi energi yang menghasilkan kemuliaan diri. Orang berilmu yang disertai dengan ibadah yang tinggi akan menjadikan derajatnya agung dan mulia di sisi Allah SWT. 

Hal lain yang harus diingat dalam menuntut ilmu adalah masa yang panjang. Tak cukup dan terlalu dini jika belajar hanya dilakukan puluhan hari. Belajar harus dilakukan dengan sungguh-sungguh selama bertahun-tahun. 

Baca juga: Hidayah adalah Misteri, Dunia Clubbing Pintu Masuk Mualaf Ameena Bersyahadat 

Target mencari ilmu bukan sekadar mendapatkan pengetahuan, tapi juga memperbaiki diri, menghormati dan mencintai guru (shuhbatul ustadz), dan menginspirasi orang sekitar. 

Ini adalah proses berjenjang dan memakan waktu, bahkan hingga sepanjang hayat. Karena itu, Abu Yazid al-Busthami mengatakan, mencari ilmu adalah amaliyah yang tidak mudah. 

Karena tidak mudah, setan pun berbisik, khususnya kepada pencari cahaya Allah SWT, untuk mengerjakan hal yang sederhana dan mudah. Khususnya yang menyenangkan diri dan penuh keasyikan. Daripada mencari ilmu, sesuatu yang berat dan sudah pasti mengandung risiko. 

Ketika suara semacam itu terdengar, kita harus mengingat pesan al-Busthami, untuk tidak tergoda, apalagi sampai membenarkan bisikan setan seperti itu. Bisikan yang bisa jadi berbentuk sekadar suara dalam hati sendiri atau omongan orang.     

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement